ASAS PENDIDIKAN ISLAM Menurut Ibn Taimiyah

 

ASAS PENDIDIKAN ISLAM

Menurut Ibn Taimiyah

 


  Bukhori at-Tunisi

(Headmaster of SMAN 2 Simpang Empat, Tanah Bumbu, Kalsel)

 

1.     Pengertian Asas.

 Asas berasal dari bahasa Arab: اساس  . Dalam Kamus Arab-Indonesia yang disusun oleh Mahmud Yunus, kata asas diartikan dengan: Asas, dasar, sendi, alasan.[1] Sedang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata asas diartikan dengan: 1. Dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau pendapat); 2. Dasar cita-cita ....[2] Dengan demikian, asas secara etimologi berarti, dasar atau pokok, di mana konstruksi bangunan yang lain dibangun di atasnya.

Para pakar pendidikan, berbeda-beda dalam menyebutkan istilah dasar-dasar yang dijadikan pijakan dalam membangun konsep pendidikan Islam. Namun filosofinya memiliki kesamaan. Muhammad al-Thoumi al-Syaibani menggunakan istilah falsafah al-tarbiyyah.[3] sedang al-Mursyi menggunakan istilah Ushul al-Tarbiyah

Asas pokok yang digunakan Ibn Taimiyah dalam membangun landasan filosofis pendidikannya, berpijak pada ilmu. Bagi Ibn Taimiyah, “ilmu yang bermanfaat” (al-‘ilm al-nafi’) menjadi dasar  bagi kehidupan yang lurus dan bermartabat (al-hayah al-rasyidah wa al-fadlilah). Berdasarkan ilmu pengetahuan tersebut, seseorang menjalani kehidupan dengan tenang dan dinamis (al-baqa’ wa al-istimrar). Sebaliknya, orang yang tidak memiliki pengetahuan, maka kehidupan seseorang akan terombang-ambing, dan akan mengelami kesesatan; karena selalu mengikuti hawa nafsunya (al-hawa).[4]

Oleh sebab itu, menurut Ibn Taimiyah, menuntut ilmu merupakan tindakan ibadah; Memperoleh ma’rifah, akan men-datang-kan sikap khasyyah (takut kepada Allah). Pengkajian secara ilmiah, dinilai Ibn Taimiyah sebagai tindakan jihad;  sedang mengajar dan menyebarkan kepada yang lain merupakan sedekah. Sementara melakukan mudzakarah sebagai perbuatan penyucian diri (al-tasbih). Dalam pandangan Ibn Taimiyah, dzikir yang paling utama adalah seseorang menkaji secara sendirian maupun secara kelompok—yang disebut di dalam al-Qur’an dengan istilah yatafaqqah fi al-din— suatu ilmu pengetahuan.[5]

Bagi Ibn Taimiyah, seseorang yang memberi nasehat orang lain, lebih utama dibandingkan dengan orang yang bersedekah. Terkadang,  karena sedekah, mengakibatkan perpecahan dan permusuhan antar sesamanya, bahkan kebencian yang berkepanjangan. sedangkan memberi nasehat orang lain, lalu memperoleh petunjuk kebenaran, pasti akan membawa kebaikan bagi diri dan orang lain. Karena itu, orang yang menyembunyikan ilmu pengetahuan, tidak mau men-share dengan yang lain, sangat dibenci Nabi Muhammad saw.,

Dengan penguasaan ilmu pengetahuan, menurut Ibn Taimiyah, seseorang dapat ma’rifah dan ber-ibadah kepada Allah. Di samping itu, dengan ilmu pengetahuan, membawa bangsa-bangsa di dunia ini, menggapai peradaban yang tinggi dan menjadi pemimpin bagi berbagai bangsa di dunia.[6]

Ibn Taimiyah berargumen bahwa hanya ahl al-‘ilm (saintis, ilmuwan, pakar dan cerdik, cendekia), yang dapat musyahadah bahwa Allah satu-satunya Tuhan (al-wahdaniyah al-ilahiyah). Hal ini sebagaimana firman Allah:

yÎgx© ª!$# ¼çm¯Rr& Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd èps3Í´¯»n=yJø9$#ur (#qä9'ré&ur ÉOù=Ïèø9$# $JJͬ!$s% ÅÝó¡É)ø9$$Î/ 4 Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd âƒÍyêø9$# ÞOŠÅ6yÛø9$# ÇÊÑÈ [7] 

(Allah yang menyaksikan bahwa Dia adalah “Ilah”, yang tidak ada tuhan kecuali Dia; begitu juga(para)  malaikat dan orang-orang yang memiliki ilmu-pengetahuan, --menyaksikan bahwa tidak ada tuhan kecuali Dia, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana).

Einstein, fisikawan kelahiran Jerman yang paling terkenal di abad ke-20, menyatakan, Ada kekuatan yang Maha Hebat, di balik keteraturan alam semesta ini.[8]

Oleh sebab itu, dalam ayat yang lain, Allah menyatakan bahwa iman dapat mengeluarkan manusia dari kegelapan ke jalan yang bercahaya.[9] Sebaliknya, kekufuran menyebakan kegelapan dan kesesatan.

Manusia sempurna menurut Ibn Taimiyah adalah orang yang menyembah (‘ibadah) secara ilmiyah dan amaliyah (praktik). Kesempurnaan tersebut muncul sebagai produk dari ilm al-nafi’ (ilmu yang bermanfaat). Ilmu yang bermanfaat tumbuh karena kuatnya ilmu pengetahuan (al-quwwah al-‘ilmiyyah); sedang amal shalih, muncul karena kuatnya kemauan berbuat (al-quwwah al-iradah al-‘amaliyah).[10]

Keyakinan yang benar, menurut Ibn Taimiyah, akan menjadi penggerak (harakiyan)[11] bagi (wujdan), perilaku yang baik; menjauhi keinginan yang buruk dan amaliah yang tidak baik. Keimanan dan keislaman seseorang akan mendorong tumbuhnya rasa cinta kepada kebenaran, selalu ingin mencari dan melakukan hal yang haq. [12]

Filosofi pendidikan Ibn Taimiyah berpatokan pada:

a.     Tauhid.

Tauhid oleh Ibn Taimiyah dijadikan landasan dasar dari kostruksi filsafat pendidikannya. Bagi Ibn Taimiyah, Tauhid tersimpul pada dua kalimat syahadat, yang menurut Islam, ke duanya menjadi ra’sul-Islam (mahkota Islam).[13]

Ibn Taimiyah membedakan antara syahadah dan iqrar. Syahadah mengandung aspek iqrar.  Namun tidak sebaliknya, bahwa tidak setiap yang mengucapkan iqrar pasti akan ber-syahadah. Iqrar adalah sikap mengakui bahwa Allah adalah pemelihara (rabb) segala sesuatu. Sedang syahadah adalah sikap mengakui hanya Allah sebagai Ilah-nya. Ibn Taimiyah mencontohkan, orang musyrik mengakui bahwa Allah adalah Tuhan Yang menciptakan mereka, namun pengakuan tersebut tidak diikuti dengan sikap hanya beribadah kepada selain Allah. Sedang syahadah, di samping pengakuan, harus disertai ibadah hanya kepada Allah.[14]

Tauhid kepada Allah, memiliki nilai makna: Pengakuan ikhlas bahwa Allah sebagai satu-satunya Ilah. Dalam pandangan Ibn Taimiyah, ikhlas yang dimaksud, tidak boleh di dalam hatinya mengandung sedikit unsur meng-ilah-kan “yang lain”. Begitu juga rasa cinta (hubb), berharap (raja’), pengagungan (ijlal), membesarkan (ikbar), senang (raghbah) dan takut (rahbah). Semuanya hanya untuk Allah. Begitu juga beragama, harus karena Allah.[15]

Tauhid kepada Allah terdiri dari 3 unsur: 1). Tauhid Rububiyah, yaitu keyakinan bahwa Allah satu-satunya Ilah yang menciptakan (khalaqa) dan mengatur (dabbara) alam semesta ini.

2). Tauhid Uluhiyah, yaitu keyakinan bahwa Allah satu-satunya Ilah yang layak untuk di-Tuhan-kan, taat dan tunduk kepada-Nya.

3). Tauhid Asma’ dan Sifat. yaitu keyakinan bahwa Allah satu-satunya Ilah yang melakukan (al-fi’l) apa yang ada di alam ini.[16]

Manusia menurut Ibn Taimiyah, memiliki kebutuhan dasar untuk sukses (al-hushul), yaitu: 1). Memperoleh manfaat sehingga menkmati dan merasakan kelezatan hidup; 2). Menghindari bahaya (daf’u al-dlarurah), yang menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan.[17]

Sumber yang dapat mendatangkah hal tersebut di atas, menurut Ibn Taimiyah adalah: 1). Allah Sang Pencipta manusia. 2). Makhluk ciptaan Allah: manusia, binatang, lingkungan dan lainnya.

Untuk meraih kesuksesan, manusia harus meng-ilah-kan Allah, sehingga dapat menarik manfaat dan menolak madlarat. Namun manusia terkadang beranggapan bahwa meng-ilah kepada selain Allah, dapat mendatangkan manfaat dan menghindar dari bahaya yang merugikan manusia.[18] Padahal anggapan tersebut salah dan sesat.

Meng-ilah-kan hanya Allah semata, akan membawa implikasi secara: 1). Aqliyyah (mindset); 2). Nafsiyyah (kejiwaan); dan 3). Ijtima’iyaah (sosial). 

Dalam aspek mindset (pola fikir), menghadirkan keyakinan bahwa Allah merupakan   sumber dari segala sumber yang mengatur, memenuhi kebutuhan dasar dan capaian-capaian keberhasilan manusia.

Sedang dalam aspek kejiwaan, tergambar dalam sikap seseorang yang hanya mengharap, takut, dan patuh kepada Allah.

Sementara dalam aspek sosial, dengan meng-ilah-kan Allah, terbentuk masyarakat egaliter, bebas dari stratifikasi sosial dan primordialisme power (kekuasaan), klan (suku), dan ketakbebasan lainnya.

Seseorang yang menghamba kepada selain Allah, akan menciptakan ketergantungan dan ketidakbebasan. Dan itu membahayakan bagi harkat kemanusiaan itu sendiri. Manusia tidak dapat memberikan manfaat atau bahaya kepada yang lain. Orang yang dianggap “pintar”, atau “alim”, tidak akan mampu menjadikan seseorang kaya atau miskin. Andai seseorang kuasa “berbuat sesuatu” atas yang lain, misalnya, tentu tidak ada orang yang miskin, sengsara, celaka, atau mendapat musibah. Bahkan kenyataannya adalah sebaliknya, orang yang pergi ke dukun, “orang pintar”, “orang alim” dan lainnya, tetap saja miskin, sengsara, celaka dan lainnya.

Ibn Taimiyah memberi tamsil sebagai berikut: 

اما الله سبحانه, فانه يريدك لك, و يريدك لمنفعتك لا لينفع بك[19]

(Adapun Allah SWT, Dia menginginkan kebaikan untukmu; Dia menghendaki kamu memperoleh manfaat, dan tidak memanfaatkan kamu untuk kemanfatan Dia).

Manusia mengharapkan untung dari manusia yang lain, namun Allah tidak mengharapkan apa-apa dari makhluk-Nya, termasuk dari manusia. Manusia yang menginginkan hidup bahagia, makmur, enak, punyak kendaraan bagus, istri cantik, anak pintar, sukses. Terkadang, menempuh jalan yang tidak benar, merugikan dan bahkan mengancam keselamatan orang lain. Pola pikir semacam ini, akan mengimplikasikan munculnya eksploitasi dan penindasan kepada yang lain. Dengan meng-ilah-kan Allah, maka manusia akan memiliki standar pola pikir, perilaku dan hubungan dengan yang lain, dalam batas norma yang ditetapkan Allah. Di mana manusia, berkompetisi secara sehat dan fair, untuk mendapatkan rizqi dari Allah.

Karena itu Ibn Taimiyah menyerukan untuk menghindari syirik, yaitu 1). syirk al-‘ibadah (syirik dalam beribadah); syirk al-taalluh (syirik dalam bertuhan); syirk al-tha’ah (syirik dalam ketaatan); syirk al-inqiyad (syirik dalam ketundukan); dan syirk al-iman (syirik dalam kepercayaan).[20]

Dalam hal ubudiyah (menyembah) juga harus ber-tauhid. “Ibadah” dalam arti luas, mencakup segala perbuatan yang dicintai dan diridloiAllah, baik aspek ucapan, perbuatan keyakinan dan tujuan hidup lainnya. Baik yang bersifat individual, sosial, atau sebagai ummat.

Dalam beribadah, harus lebih mementingkan beribadah kepada Allah dibandingkan dengan “pengabdian” kepada yang lain. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya harus melebihi ketaatannya kepada yanglain. Begtu juga dalam masalah cinta, mengangkat pimpinan,  menolong (al-nashr), menolak (al-man’u), bahkan kerelaan kepada Allah, harus melebihi kerelaan seseorang kepada yang lain.

Beribadah yang benar adalah beribadah yang dilakukan seseorang, sesuai dengan hak yang diberikan Allah dan Rasul-Nya, bukan kepada ketetapan yang dibuat yang lain.[21]

Itulah tujuan ibadah yang ditetapkakan Allah ketika menciptakan manusia. Seorang muslim yang sempurna (al-muslim al-kamil) adalah orang muslim yang ibadahnya sesuai dengan ketentuan tersebut. Pendidikan (al-tarbiyyah) harus diarahkan dalam kerangka ini.

Ibadah menurut Ibn Taimiyah dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1). ‘Ibadah diniyah; 2). ‘Ibadah kauniyah.[22]

Ibadah diniyah adalah hubungan  perbuatan manusia dengan Sang Khaliq, orang lain dan ummat. Di mana masalah ini banyak dikaji dalam ilmu tauhid atau ushuluddin.

Sedang ‘Ibadah kauniyah adalah sikap tunduk (al-khudlu’) kepada aturan Allah yang ditetapkan pada ciptaan-Nya. Termasuk dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, baik secara individu (alfard) maupun sosial (ijtima’i).

Semesta (al-kaun) ini, semuanya beribadah kepada Allah, karena semuanya tunduk kepada ketentuandan ketetapan Allah yang diberikan kepada mereka. Baik gerak (al-harakah), diam (al-sukun), atau beredarnya semesta pada porosnya masing-masing.

Pendidikan (al-tarbiyyah) harus melakukan kajian terhadap rahasia alam semesta ini, dan mengungkapkan (iktisyaf) hukum-hukum yang berlaku pada alam tersebut. Discovery dan exploration ini, dapat mengungkap tanda-tanda (al-ayat)  ke-Esa-an Allah.[23]

Begitu juga hukum sosial yang berlaku pada setiap ummat.[24] Peristiwa individu, kelompok, suku, bangsa dan lainnya yang berakibat kemajuan suatu bangsa atau kehancuran suatu bangsa. Merupakan ketetapan Allah yang berlaku pada semua manusia, baik sebagai individu, kelompok atau sebagai sebuah bangsa.

Mengapa manusia perlu ber-ibadah kepada Allah? Karena beribadah merupakan kebutuhan dasar manusia untuk mencapai ketenangan (tathmainnu, thuma’ninah) dan ketentraman (sakinah). Manusia merakan nikmat yang sebenarnya, manakala didasarkan pada cinta (mahabah) dan muwajjahah kepada Allah.[25] Hakikat penghambaan ada di hati dan ruhnya. Artinya bahwa, ketenangan hanya tercipta dengan beribadah hanya kepada Allah. Begitu juga kelezatan hanya dapat dirasakan manakala dapat beribadah kepada Allah dengan arti yang sebenarnya.

Pendidikan menurut Ibn Taimiyah, berperan dalam memberi bekal (al-tazawwqadu) manusia untuk mengambil himah dari hukum alam tersebut untuk selalu berada berada pada jalur yang benar, al-shirath al-mustaqim, melalui latihan (al-mumarasah) dan “rasionalisasi” (al-maqayis).[26]

Namun manusia, memunyai sisi lemah yaitu zhalim dan jahil.[27] Yang menurut Nurcholish Madjid, kelemahan dan keuatan fithrah manusia, bagaikan uang dengan dua sisinya yang tidak dapat dipisahkan.[28] Dalam pandangan Ibn Taimiyah, kezhaliman yang dilakukan manusia diakibatkan karena ketidak punyaan pengetahuan (‘adam al-ilm) dan kecenderungan manusia untuk menuruti hawa nafsu buruknya.[29] Karena itu, manusia memerlukan ilmu yang memperjelas kesalahannya, sehingga ketidak tahuannya hilang. Dan contoh-contoh yang menkisahkan aspek kelemahan manusia, banyak diceritakan di dalam al-Qur’an. Karena itu pendidikan harus disandarkan dan bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Karena di dalam kedua sumber tersebut, banyak yang berkaitan (al-mutalliqah) dengan hal tersebut.[30]

Ibn Taimiyah berpandangan, bahwa pendidikan yang tidak mendasarkan pada tauhid dan iman kepada Allah, hanya akan menghasilkan kekerasan (jaufa’) dan alenasi (al-khaliyah), keterasingan, dan disorientasi (mujarrad al-tawajjuh).[31] 

Sedang Syahadat Rasul, memiliki arti: Membenarkan segala yang disampaikan oleh rasul Allah, yaitu Nabi Muhammad saw., taat kepada semua yang perintahkan, baik yang diwajibkan maupun yang dilarang. Menghalalkan apa yang dihalalkan, dan mengharamkan apa yang diharamkannya, serta tidak beragama (al-din) keuali yang disyariatkan Allah dan Rasul_Nya.[32]

Menurut Ibn Taimiyah, syahadat tauhid tidak absah bila tidak disertai (iqtiran) dengan syahadat rasul (kesaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Orang yang bersyahadat bahwa Nabi Muhammad sebagai rasul Allah, mengimplikasikan (mutalazim) sikap percaya, taat, ridla,[33] cinta [34]dan menerima apa yang diputuskan Rasul.[35]

Islam menurut Ibn Taimiyah, mengandung arti al-istislam (pasrah), al-inqiyad (tunduk) dan al-ikhlash (ikhlas). Inilah makna sebenarnya dari la ilaha illa Llah. Orang yang memasrahkan dirinya kepada selain Allah, termasuk syirik dan dianggap takabur kepada Allah.[36]

Tegaknya pendidikan akal dan tingkahlaku, dibangun di atas pondasi sikap pasrah (al-istislam) dan ketundukan (al-inqiyad) kepada Allah. Aspek ucapan, tingkahlaku (al-‘amal) dan keyakinan (al-i’tiqadiyah) harus terpadu dan sesuai (al-muwafaqah) dengan pengajaran al-Qur’an dan al-Sunnah.[37] Karena menurut Ibn Taimiyah, nilai kebaikan itu bila memenuhi dua aspek, yaitu: 1). Niat ikhlas karena Allah; 2). Sesuai dengan ketentuan syariat.[38]

b.     Asas Fithrah (tabiat asal manusia).

Menurut Ibn Taimiyah, manusia dicipta (mafthur) bernaturkan tauhid bukan syirk.[39] Manusia sejak diciptakan butuh pada Tuhan, laksana tubuh yang selalu membutuhkan asupan makanan dan minuman.[40] Ia semacam rasa ketergantungan kepada yang Maha Agung, sebagaimana yang diungkapkan psikolog William James.

Iman dan cinta kepada Allah menjadi sumber  kekuatan, kebahagiaan, dan kebaikan manusia. Seseorang akan merasa bahagia dan tenang, manakala dalam hidupnya selaras dengan petunjuk Allah. Sebaliknya, orang yang tergantung dengan selain Allah, maka terkadang akan mendatangkan keuntungan, namun terkadang merugikan, menyakitkan bahkan mencelakakan.

Natur (fithrah) manusia, tidak dapat teraktualisasi dan diaplikasikan dalam kehidupan yang sesuai dengan ketentuan (qanun) Allah, tanpa proses pembelajaran (al-ta’lim) dan pendidikan (al-tarbiyyah).[41] Itulah yang menjadi dasar mengapa Allah menurunkan al-risalah (ajaran) dan rasul ke dunia. Risalah yang diturunkan Allah,  untuk mengarahkan manusia untuk memperoleh keuntungan (al-manfa’ah) dan menghindarkan diri dari bahasa (al-dlarr). Syari’ah yang diturunkan Allah bagaikan cahaya (al-nur) yang mengarahkan akal manusia untuk mengetahui mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan.

Aql sendiri menurut Ibn Taimiyah, berfungsi saling melengkapi (mutakafil) dengan wahyu.[42]  Ia bagaikan mata yang bisa melihat, manakala ada cahaya,

[43](كما ان نور العين, لا يرى الا مع ظهور نور قدامه).

Cahaya akal tidak akan terarah manakala tidak ada cahaya wahyu. Karena itu, menyampaikan agama merupakan kewajiban yang paling besar dalam Islam. Karena dengan risalah tersebut. Akal terarah pada jalan yang benar.

Menurut Ibn Taimiyah, sejak awal mula wahyu turun,[44] sudah melembagakan (jassada) pendidikan dalam tubuh ummat Islam. Yang mendasarkan pada penekanan nilai-nilai fithrah yang telah ada di dalam diri manusia. 

c.     Asas epistemologis (al-Manhajiy al-fikry).

Ibn Taimiyah memandang sangat penting adanya kesepakatan tentang metodologi yang menghasilkan “pengetahuan”.

a.     Sumber ilmu pengetahuan menurut Ibn Taimiyah.

1.     Wahyu (48).

Ibn Taimiyah berpandangan bahwa wahyu merupakan dasar (asas) dan tolak ukur (miqyas) bagi sumber pengetahuan lainnya. Sehingga,  pengetahuan yang sesuai (al-muwafaqah) dan tidak bertentangan (lam yukhalif) dengan wahyu Allah adalah benar (shahih); sebaliknya, segala hal yang tidak sesuai atau bertentangan dengan apa yang diwahyukan Allah adalah salah (al-bathil).[45]  Baik yang berhubungan dengan masalah gaib, faraid, ibadah, muamalah dan fiqih. Tidak peduli apakah orang menyebutnya sebagai ilmu pengetahuan (al-‘ilm), logika, ibadah, mujahadah, dzauq[46] dan maqamat.[47] Bukti sebuah kebenaran, menurut Ibn Taimiyah, adalah kesesuaian dengan wahyu Allah. Kebenaran pun, baik itu kebenaran ilmiah maupun  i’tiqadiyah, tidak dianggap sebagai kebenaran mutlak.[48] Ibn Taimiyah mengungkapkan seperti di bawah ini: 

Sebuah pengetahuan, menurut seseorang, merupakan pengetahuan yang pasti, namun bagi yang lain, tidak. Bahkan ada yang menganggapnya bukan sebagai ilmu pengetahuan. Apatalagi, sesuatul yang bersifat “dugaan” (zhanniy, mazhnun). ... Namun, apa yang dibawa oleh rasul Allah, secara esensial, itu sudah benar dengan sendirinya, yang tidak berubah karena adanya perbedaan keyakinan seseorang atau karena situasi dan kondisi tertentu. Apa yang dibawa rasul, merupakan kebenaran, yang tidak menerima untuk dipertentangkan...[49] 

Nabi sendiri menurut Ibn Taimiyah, sudah menjelaskan seluruh urusan agama, baik aspek ushul (pokok, dasar), furu’(cabang, sekunder), bathin (nilai), zhahir (formalitas), ilm (epistemologi) dan ‘amal (praksis).[50]

Ibn Taimiyah menolak pendapat yang menyatakan bahwa Nabi saw., dan para sahabat, tidak menjelaskan filosofi dasar agama (ushul al-din), karena mereka sibuk dalam urusan jihad. Bahkan, kata Ibn Taimiyah, Nabi sudah menjelaskannya dengan penyampaian  terbaik, baik dari dalil pembuktian (al-burhan) dan dalil rasionalitasnya (al-‘aqliyyah) secara meyakinkan.[51]

Nabi sendiri mengajarkan ummatnya al-Kitab dan al-hikmah, bahkan para istrinya pun, untuk tadzakkur tentang ayat Allah dan hikmah.[52] Dalam tradisi keilmuan Islam. Kata hikmah sering digunakan dalam konteks proses berfikir yang mendalam tentang sesuatu. Hikmah merupakan produk pemikitran mendasar dari rasionalitas aql dan perasaan qalb. Perpaduan tersebut yang menghasilkan kebenaran yang sebenarnya, yaitu kebenaran yang sejati. Kebenaran bukan hasil dari dorongan hawa nafsu, kemauan orang banyak, atau untuk kepentingan kelompok tertentu. 

Metode Ibn Taimiyah dalam al-ruju’ ila al-Kitab dan al-Sunnah bahwa

Ibn Taimiyah berpendapat, tidak semua orang yang mengaungkan slogan: Kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah (al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah) itu bisa bebas dari bias pemikiran sempit dan kesalahan metodologis yang fatal, padahal bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Karena itu Ibn Taimiyah mengajukan aspek metodologis berikut, yang akan dapat menyampaikan pada

a.     Memahami al-Qur’an dan al-Sunnah, harus menggunakan menggunakan metodologi tingkat pertama (al-darajah al-ula).

Menurut Ibn Taimiyah, al-Qur’an dan al-Sunnah manakala sudah ada penjelasan, tafsirnya, dari Nabi saw., maka tidak perlu lagi kepada argumentasi “yang dicari-cari” dari ahli bahasa, fiqih dan lainnya. Kata, konsep, istilah dalam agama itu ada tiga macam: 1). Istilah yang batasannya (hadd) diketahui melalui syara’  seperti shalat, zakat dan lainnya. 2). Istilah yang batasannya diketahui melalui pejelasan bahasa, seperti kata al-syams (matahari), al-qamar (bulan); 3). Istilah yang diketahui batasannnya berdasarkan urf (kebiasaan, adat istiadat), misalnya firman Allah Qs. 4: 19.

Istilah yang batasannya sudah diketahui berdasarkan syara’, yaitu tafsir yang dijelaskan oleh Nabi sendiri; tidak boleh dipertentangkan dengan qiyas, pemikiran atau rasionalisasi. Ini sebagaimana yang disepakati oleh para sahabat dan tabiin. Para sahabat dan tabiin besepakat bahwa tidak boleh sama sekali bertentangan dengan al-Qur’an, baik itu dengan akal fikiran, pendapat, perasaan (al-dzauq), analogi dan ilham (wijdan). Al-Qur’an merupakan kitab yang harus diikuti, tidak boleh ada yang “mendahului” dari al-Qur’an dan al-Sunnah.[53]

b.     Sanad dan pemahaman terhadap teks, shahih (benar).

Ada dari kalangan mutakallimun (teolog) yang menggunakan dalil yang tidak shahih, bukan berasal dari Nabi saw., bahkan itu hanya zhann (sangkaan) saja. Padahal zhann tidak dapat dijadikan sebagai bukti sebuah kebenaran, seperti analogi yang keliru (al-qiyas al-khat’) atau riwayat yang mengandung kedustaan (kidzb). Oleh karena itu, untuk menghindar dari sumber naql yang mengandung unsur kedustaan, maka sanadnya harus sahih, perawinya memenuhi kualifikasi sebagai rawi terpercaya, jujur, kuat hafalannya, antar rawi harus saling pernah bertemu dengan rawi yang lain.[54]

Keshahihan dapat dinilai dari dua aspek: 1). Aspek sanad; 2). Aspek matan (isi hadis). 

c.     Pendekatan bahasa dalam memahami nash.

Manakala suatu nash tidak tidak ada tafsir dari al-Qur’an dan al-Sunnah, maka harus dikembalikan kepada kaidah bahasa dan ushul fiqh yang menjelaskan nash-nash yang memerlukan penjelasan lebih luas dan mendalam.

Ibn Taimiyah berpandangan bahwa,pada dasarnya makna suatu ‘teks’, didasarkan pada makna lahiriahnya (الاصل فهم النصوص على ظاهرها).[55] Adanya pemaknaan ke pada makna yang majazi, karena adanya suatu qarinah (petanda) yang mengharuskan untuk tidak memberikan makna lahiriahnya.

Ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi untuk memberi makna suatu nash ke makna majazi, yaitu:

a) . lafazh tersebut harus menggunakan makna majazi, karena lafzh tersebut bukan berasal dari lafazh asli arab. Karena al-Kitab dan al-Sunnah serta kalam salaf, semuanya menggunakan bahasa arab. [56]

b) . Ada dalil (petunjuk) yang mengharuskan menggunakan makna majazi, bukan makna hakiki. Tidak boleh memberi makna majazi tanpa suatu dalil, meskipun ada ijma’ para pakar.[57]

c) . Dalil yang digunakan sebagai petunjuk  untuk menggunakan makna majazi, harus terbebas dari kritik atau ada yang menentang (mu’aridl) dalil tersebut.[58]

d) . manakala Rasul saw., berbicara, sedang yang dikehendaki adalah makna makna majazi, bukan makna hakiki; maka Nabi saw., wajib menjelaskan kepada ummatnya, bahwa yang dikehendaki dari ujaran yang diungkapkan adalah makna majazinya.[59]



[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta, Hidakarya Agung, 1990)., h. 41.

[2] Deprtemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3 (Jakarta, Balai Pustaka, 2005), h. 70.

[3] Muhammad al-Thoumi al-Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta, Bulan Bintang, 1978).

[4] Majid Arsan Kailani, al-Fikr al-Tarbawi inda Ibn Taimiyah ...h. 91.

[5] Ibid., h 92

[6] Ibid., h. 91.

[7] QS. Ali Imran (3): 18.

[8] Untuk membaca keterkaitan antara agama dan ilmu pengetahuan, baca! Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, (Bandung Mizan, 2004), h. 52.

[9] QS. 2: 257.

[10] Op. Cit., h. 94

[11] An-Nahlawi, Ibn Taimiyah, h. 28.

[12] Ibid., h. 28.

[13] Ibid., h. 92.

[14] Abdurrahman al-Nahlawi, Ibn Taimiyah, ...h. 23.

[15] Ibid.

[16] Ibid., h. 93.

[17] Ibid., h. 94.

[18] Ibid., h. 95.

[19] Ibid., h. 96.

[20] Ibid., h. 97.

[21] Ibid., h. 101.

[22] Ibid., h. 102.

[23] Ibid., h. 103.

[24] Ibid., h. 103.

[25] Ibid.

[26] Ibid., h. 104.

[27] Ibid.

[28] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta, Paramadiana, 1996).

[29] Kailani, Loc. Cit.

[30] Ibid., h. 105.

[31]Ibid.

[32]Kalilani, Loc. Cit.

[33] QS. 4: 65.

[34] QS. 3: 31.

[35] An-Nahlawi, OP. Cit., h. 24.

[36] Kalilani, Op. Cit., h. 93.

[37] An-Nahlawi, Op. Cit., h. 27.

[38] Ibid,

[39] Ibid., h. 99-100.

[40] Al-Kailani, Ibid., h. 100.

[41] Ibid.

[42] Ibid.

[43] Ibid., h. 100

[44] Baca QS. Al-Alaq/96: 1-5.

[45] An-Nahlawi, Ibn Taimiyah, h. 48.

[46] Dzauq secara etimologis bermakna: rasa. Istilah ini digunakan para sufi untuk mengungkapkan rasa kehadiran tuhan dalam dirinya.

[47] Maqamat bentuk plural dari kata maqam, secara etimologis bermakna tempat. Istilah ini digunakan para sufi untuk menggambarkan kedudukan atau posisi seseorang di hadapan Tuhan, sebagai marhalah (tahapan) yang harus dilalui untuk mencapai maqam yang lebih tinggi.

[48] Al-Nahlawi, Op. Cit., h. 49.

[49] Ibid., h. 49.

[50] Ibid.

[51] Ibid., h. 50.

[52] Al-Nahlawi, Ibid., h.52.

[53] Ibid., h. 53.

[54] Ibid., h. 54.

[55] Ibid., h. 55.

[56] Ibid.

[57] Ibid., h. 56.

[58] Ibid., h. 56

[59] Ibid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi