Dakwah, Tak Semudah yang Dibayangkan

 Dakwah, Tak Semudah yang Dibayangkan 



Bukhori at-Tunisi
(Alumni Ponpes Ar-Roudlotul Ilmiyah, Kertosono)

 

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ

 Kalau kita baca ayat al-Qur’an yang menyeru untuk mengajak ke Jalan Tuhan, bukan jalan setan, dengan cara yang bijak, terbayang di benak kita, sesuatu yang mudah untuk diterawang, mudah dikonsepkan, mudah dijalankan, padahal tidak. Kalau kita memakai pendekatan konsep “mafhum mukhalafah” (pengertian kebalikan) dalam ilmu Ushul Fiqih, justru adanya “nash” tersebut menunjukkan adanya “ketidak bijakan” dalam mengajak ke Jalan Tuhan, ada mauidlah yang buruk, dan ada mujadalah yang kurang baik. Meskipun bukan sesuatu yang iltizam bahwa mafhum mukhalafah pasti ada dan terjadi, maka nash itu menunjuk pada jalan yang jika ingin mengajak kepada jalan kebenaran, maka itu salah satu di antara jalan itu.

Banyak para filosuf, pujangga, orang bijak, terkadang harus menyendiri untuk menemukan jalan kebenaran. Sidharta Gautama meninggalkan “samsara” duniawi, lalu bersemedi di pohon Budhis. Nabi Muhammad berkhalwat di Gua Hira’, para sufi menyendiri di tempat sepi. Para pejuang kebenaran kadang harus berjuang sendiri membela kebanaran, bahkan harus rela minum racun kaya Socrates, masuk kuali panas kayak Masithah, dipenjara kayak Ibn Taimiyah, Galileo, Diponegoro, dan lainnya. Jalannya terjal, tidak mudah, dan mendaki. Sering dicaci-maki, dipersekusi, bahkan dieksekusi.

Mengajak kepada kebenaran, kadang minim respon, ditolak, dimusuhi, dilempari, bahkan diperangi. Kurang apa baiknya nabi Muhammad, pribadi yang memperoleh gelar “al-Amin” dari kaumnya, masih dicaci kayak orang majnun, dituduh terkena sihir karena dianggap gak waras, karena dari mulutnya keluar kata-kata “ajaib” yang tak mampu mereka samai. Bahkan suatu waktu dilempari batu, hingga berdarah-darah, dikejar-kejar hingga mau dihabisi, tak mampu sendirian, diperangi secara ramai-ramai. Ghirahnya begitu besar untuk menyelamatkan ummat manusia, mengajak siapa pun tanpa henti, hingga Allah melarang untuk merengek-rengek agar yang diajak mau menerima dan mengimani apa yang dijarkannya, kata Allah, “Laisa alaika huda hum wa lakinn ‘llaha yahdi man yasya’

 ليس عليك هدىهم ولكن الله يهدي من يشاء

 (Bukan kewajibanmu untuk menjadikan mereka memperoleh petunjuk, 
namun Allahlah yang akan memberikan petunjuk kepada orang yang menghendakinya). 
(al-Baqarah/2: 272)

 Dalam urusan apa pun ada perintah untuk mengatakan yang benar (QS. Al-Nisa’/4:) dengan cara yang ma’ruf (QS. Al-Nisa’/4:), perkataan yang dikenal banyak orang (QS. Al-A’raf/7: 199), bukan istilah yang asing di telinga dan pemikiran mereka (‘ajam) (QS. Fushilat/: 44 ), yang baik dan tidak menyakitkan perasaan (QS. Al-Baqarah/2: 263), wajahnya berseri-seri dan tidak bermuka masam (QS. ‘Abasa/: 1-12), menggembirakan dan tidak menakutkan (Basysyiru wa la tunaffiru), dan segala bentuk kebaikan lainnya (QS. Fushilat/41: 34). Begitu sempurna “arahan” Allah kepada para Nabi dan pewarisnya (ulama’).

Nabi dilarang jadi pemarah, emosional, keras kepala, masyarakat akan lari. Oleh sebab itu didawuhkan oleh Allah untuk menjadi pemaaf, membacakan istighfar untuk ummatnya, dan bila ada suatu persoalan, rembukan sama mereka (QS. Ali Imran/3: 159).

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

(Karena rahmat Allah, engkau menjadi lemah lembut terhadap mereka. Andai engkau bersikap keras dan keras hati, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam suatu urusan. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakal).

 Nabi pernah melakukan Qunut Nazilah, karena orang-orang yang memusuhi Nabi sudah keterlaluan permusuhannya kepada kaum muslimin, namun habis itu, Nabi disuruh berhenti untuk melakukan Qunut Nazilah, karena urusan iman, petunjuk, keislaman seseorang adalah urusan Allah. Kata Allah:

لَيْسَ لَكَ مِنَ الْاَمْرِ شَيْءٌ اَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ اَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَاِنَّهُمْ ظٰلِمُوْنَ وَلِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ يَغْفِرُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ࣖ

(Bukan menjadi urusanmu, apakah Allah memberi taubat mereka, atau mengazabnya, karena sesungguhnya mereka orang-orang zalim. 
Dan milik Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. 
Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki, dan mengadzab siapa yang Dia kehendaki.Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang).
(QS. Ali Imran/3: 128-129).

 Nabi saja pernah “ditegur” Allah, apalagi manusia biasa yang bukan nabi dan juga bukan rasul, tentu maqamnya lebih adna daripada nabi Muhammad. Artinya lebih banyak khilaf, salah, dan permasalahan lainnya. Oleh sebab itu, andaikata berdakwah itu mudah, maka tidak akan ada konsep amar ma’ruf nahi munkar, memakai motodologi, pemetaan wilayah, tingkatan pengetahuan, tahapan, gradasi, pendampingan, dst. Nyatanya, tidak setiap yang rasional menurut akal, otomatis diterima oleh orang mampu berfikir; tidak setiap yang menyentuh hati, otomatis diterima oleh yang memiliki hati; bahkan dakwah kebaikan dan kebenaran, sering ditolak orang. Orang, boleh jadi nafsunya lebih kuat daripada akal dan hatinya, sehingga rasionalitasnya tidak jalan. Lazimnya, semua kebaikan dan kebenaran, harus diterima dan dipercaya oleh akal sehat dan hati yang sehat, namun nyatanya ditolak dan tidak dipercaya. Inilah makna bahwa “hati nurani” memainkan peran penting dalam menerima kebaikan dan kebaikan secara jujur, bahwa hanya hati yang disinari cahaya Tuhan lah yang mampu menerima kebenaran apa adanya. Inilah makna bahwa “kebenaran mutlak” tidak tergantung waktu dan tempat, karena orang yang jujur pasti menerima kebenaran mutlak tersebut apa adanya, tidak tergantung profesi, jabatan, posisi, atau lainnya, sehingga pendosa pun dapat menerima kebenaran mutlak tersebut jika saat jujur.

Angka “1” (satu), orang yang alim, jahil, presiden, sinden, mu’min, kafir, pezina, koruptor, hakim, polisi, dst., pasti akan menyebutnya “satu”. Jika angka 1 (satu) dikatakan 2 (dua), maka sudah tidak sehat, tidak waras. Inilah makna firman Allah:

 وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ

(Sungguh benar, Kami telah menciptakan jin dan manusia, namun banyak dari mereka masuk neraka Jahanam. Mereka memiliki hati, namun tidak dipergunakan untuk memahami; 
dan memiliki mata, namun tidak mereka pergunakan untuk melihat; serta memiliki telinga, namun tidak mereka pergunakan untuk mendengarkan. 
Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang pelupa). 
(QS. Al-A’raf/7: 179)

 اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَاۚ فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ

 (Tidakkah mereka berjalan di bumi sehingga hati mereka dapat memahami atau telinga mereka dapat mendengar? Sungguh bukan matanya yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang berada dalam dada). 
(QS. Al-Hajj/22: 46)

 Yang dapat dinalar secara rasional, tidak musti membuat akal sadar; boleh jadi dicarikan argumentasi untuk menghela diri. Kesadaran dapat wujud hanya yang keluar dari jiwa yang bersih dan suci, bukan dari jiwa yang kotor dan penuh najis. Inilah menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah makna dari fiman Allah, “La yamassuhu illa al-muthahharun” (al-Qur’an tidak dapat disentuh [maknanya] kecuali oleh orang-orang yang bersih). Karena itu, tidak setiap yang kita tunjukkan akan dilihat dan diperhatikan orang. Tidak setiap yang diperdengarkan akan disimak orang. Tidak setiap “kebaikan” yang dikerjakan, akan diterima baik-baik oleh orang. Inilah pentingnya konsep ikhtiar, tawakkal, dan ikhlas, karena semua itu akhirnya dipasrahkan kepada Allah. Tidak ada nabi dan rasul yang tidak ada musuhnya. Nabi Nuh bahkan anaknya sendiri inkar; nabi Luth istrinya sendiri inkar; nabi Ibrahim ditentang bapaknya dan dibakar oleh rajanya; nabi Musa mau dibunuh Fir’aun; nabi Isa berhadapan dengan penguasa Romawi; nabi Muhammad berhadapan dengan kafir Quraisy, Yahudi, dan Nashrani. Bahkan dari kalangan sukunya sendiri ada yang memusuhi.

Contoh bahwa tidak semua orang menerima ajakan seseorang meskipun benar namun caranya kurang baik adalah seorang “alim” yang mau menasehati Khalifah Harun Ar-Rasyid. Sang alim, karena sikap kerasnya, dibodoh-bodohin Khalifah Harun. Tokoh tersebut terlalu “pede” (percaya diri) kepada pengetahuannya yang selalu dianggap benar. Sehingga disampaikan apa yang ada dengan lantang, keras, namun tidak memperhatikan sikon. Alkisah ini diceritakan kembali oleh Gus Baha’ sebagai berikut: 

إني ناصح لك فمشدد عليك

ولا تجدن علي شيئا في نفسك شيئا

قال هارون الرشيد:

"أسكت لا استاذ

أسكت يا جاهل, انت جاهل!"

إن الله قد ارسل من خير منك

الى من هوشر مني

فإن الله قال:

... فقولا له قولا لينا

 ([Khalifah Harun!], “Aku akan menasehatimu dengan keras,

karena aku tidak menemukan sesuatu pun di dalam dirimu

Harun menyahut,

“Diam, kamu bukan guru,

Diam, bodoh! Kamu bodoh,

Sungguh Allah mengutus orang yang lebih baik daripada kamu,

kepada orang yang lebih buruk dibandingkan aku. Namu Allah menyuruhnya,

“... bertuturlah kamu berdua dengan ucapan lemah lembut!

 Fir’aun saja, sang penjagal nyawa, Allah menyuruh Musa dan Harun saat mengajak untuk berbuat baik dan menyembah Allah SwT, disuruh ngomong yang baik  dan menjaga tatakerama. Kata Khalifah Harun, “Kepada Fir’aun yang jahat saja disuruh berkata santun, apalagi kepada saya.  Saya tak sejahat Fir’aun, tentu harus lebih sopan. Bagaiman kamu mau ngomong kasar kepadaku? Berarti kamu bukan kyai, tapi orang bodoh. Kau diam! Kau bodoh! Kamu bukan guru.

Mengapa Musa disuruh Allah untuk berkata layyinan kepada Fir’aun? Dakwah bukan untuk saat sekarang saja, ke depan, ada harapan generasi berikutnya mau mendengarkan, menerima, bahkan mengamalkan. Nyatanya ke masa berikutnya ada dari kalangan Fir’aun yang menerima ajaran Tauhid, monoteisme.

Dai itu, keras dikritik, lemah-lembut dikritik; ketinggian dikritik; terlalu mudah dikritik; sedang-sedang ya dikritik; apa saja dikritik. Ngajak ngaji siang, kok gak malam. Malam kok gak siang. Kalau siang, katanya, “Wayahe nyambut gawe”. Malam wayahe wong turu. Minggu wayahe liburan. Jum’at durung libur. Semua serba DISALAHKAN. Mengutip Tuan Guru Bakri, “Kalau ada niat, ada seribu cara untuk menghadiri; kalau tidak ada niat, ada seribu cara untuk menghindari.” Artinya, kalau hati tidak berkehendak, yang manis pun dirasa pahit, yang baik pun kelihatan buruk, yang cantik nampak tak elok rupa, apalagi yang buruk dan jelek.

Kurang alim apa Ustadz Adi Hidayat, masih ada yang men-tahdzir, ada yang melarang untuk mengikuti kajiaanya. Kurang alim apa Ustadz Abdul Shamad, di kalangan internal nahdliyin sendir ada yang menolak dan mendiskreditkan karena simpati kepada Islam politik.

Dai, JANGAN sampai kayak cerita “Keledai, Ayah, dan Anak”.  Keledai dituntun oleh ayah dan anak, namun tidak dinaiki. Bertemu orang di jalan, lalu ditanya, “Ngapain punya Keledai tidak dinaiki? Untuk apa punya Keledai.” Setelah itu Keledai dinaiki ayah dan anak. Di tengah jalan bertemu dengan seseorang, “Ngapain Keledai yang kecil itu dinaiki 2 orang? Kok bodoh sekali.” Akhirnya salah satu dari ayah dan anak turun. Anaknya ada yang di atas Keledai, sedang bapaknya ada di bawah, menuntun keledai. Bertemulah seseorang di perjalanan, “Tidak sopan sekali, anak naik Keledai, sedang ayahnya menuntun.” ayah dan anak bingung. Akhirnya ayahnya yang naik Keledai. Perjalan dilanjutkan, di tengah jalan bertemu seseorang, “Ayah macam apa ini, ayahnya naik Keledai, anaknya menuntun di bawah. Orang tua tak punya otak.” Turunlah ayahnya dari Keledai. Akhirnya ayah dan anak kebingungan.

Dai bisa diombang-ambingkan keadaan bila tidak punya pendirian, mudah digoyang angin, atau bahkan masuk angin. Apalagi kebanyakan makan, seperti cerita pasukan yang kebanyakan minum “Air Ujian”.

فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوْتُ بِالْجُنُوْدِ قَالَ اِنَّ اللّٰهَ مُبْتَلِيْكُمْ بِنَهَرٍۚ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّيْۚ وَمَنْ لَّمْ يَطْعَمْهُ فَاِنَّهٗ مِنِّيْٓ اِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً ۢبِيَدِهٖ ۚ فَشَرِبُوْا مِنْهُ اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْهُمْ ۗ فَلَمَّا جَاوَزَهٗ هُوَ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗۙ قَالُوْا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوْتَ وَجُنُوْدِهٖ ۗ قَالَ الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلٰقُوا اللّٰهِ ۙ كَمْ مِّنْ فِئَةٍ قَلِيْلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيْرَةً ۢبِاِذْنِ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ

 (Maka, ketika Thalut keluar membawa bala tentaranya, dia berkata, “Sesungguhnya Allah akan mengujimu dengan sebuah sungai. Maka, siapa yang meminum (airnya), sesungguhnya dia tidak termasuk golongan-ku. Siapa yang tidak meminumnya, sesungguhnya dia termasuk golongan-ku, kecuali menciduk satu cidukan dengan tangan.” Akan tetapi, mereka meminumnya kecuali sebagian kecil di antara mereka. Ketika dia (Thalut) dan orang-orang yang beriman bersamanya menyeberangi sungai itu, mereka berkata, “Kami tidak kuat lagi pada hari ini melawan Jalut dan bala tentaranya.” Mereka yang meyakini bahwa mereka akan beretemu Allah berkata, “Betapa banyak kelompok kecil mampu mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.” 
Dan Allah bersama orang-orang yang sabar).
(QS. Al-Baqarah/2: 249).

 Orang, tokoh, kyai, ulama, aktivis, cendekiawan, kalau sudah mau “makan”, bahkan “kebanyakan makan”, suara kritisnya hilang, telinganya gak peka, matanya buram, mulutnya bisa, otaknya tumpul, fikirannya gak tajam lagi, konsepnya amburadul, tidak konsisten, dan lainya. Keberaniannya hilang menjadi penakut dan dihinggapi rasa was-was. Kekayaan, kesenangan, jabatan, itu memabukkan, bisa merubah orang yang sadar fikirannya jadi linglung, kesadarannya hilang, yang pintar jadi dungu, yang dungu tambah bego, dan seterusnya. Yang memabukkan bukan hanya sabu, wine, oplosan, dsb. Yang membuat “sakau” (dari kata Arab “sakara”: tidak sadar, mabuk, jadi: sakau); namun sogokan, gratifikasi, rasywah, korupsi, dan sejenisnya, bisa membuat orang sakau, lupa diri, dan melanggar aturan. Jadi benarlah ayat di atas, jika seseorang banyak “minum”, maka akan kehilangan “kekuatan”-nya, jadi lemah dan lunglai.

Para nabi dan rasul, ajakannya bukan pamrih untuk mencari materi, jabatan, dan kesenangan, serta kehormatan, namun hanya mencari “pahala” dari Allah. Salah satunya adalah ayat berikut:

وَيٰقَوْمِ لَآ اَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًاۗ اِنْ اَجْرِيَ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ بِطَارِدِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْاۗ

اِنَّهُمْ مُّلٰقُوْا رَبِّهِمْ وَلٰكِنِّيْٓ اَرٰىكُمْ قَوْمًا تَجْهَلُوْنَ

(Wahai kaumku, aku tidak meminta kepadamu harta (sedikit pun sebagai imbalan) atas seruanku. Imbalanku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya (di akhirat), tetapi aku memandangmu sebagai kaum yang bodoh
(QS. Hud/11:29) 

Nabi Ulul Azmi, termasuk nabi Nuh, satu di antara contoh betapa beratnya berdakwah. Riwayat menyebutkan, selama berdakwah kurang-lebih 800 tahun, hanya memperoleh 80 pengikut. Artinya, setiap seratus tahun, hanya dapat mengimankan 10 orang, berarti 1 tahun, 1 orang. Begitu berat ujian para nabi dan rasul. Padahal seperti dakwahnya nabi Nuh, mengunakan berbagai cara, waktu, dan model pendekatan. Berikut firman Allah: 

قَالَ رَبِّ اِنِّيْ دَعَوْتُ قَوْمِيْ لَيْلًا وَّنَهَارًاۙ فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَاۤءِيْٓ اِلَّا فِرَارًا وَاِنِّيْ كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوْٓا اَصَابِعَهُمْ فِيْٓ اٰذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَاَصَرُّوْا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًاۚ ثُمَّ اِنِّيْ دَعَوْتُهُمْ جِهَارًاۙ ثُمَّ اِنِّيْٓ اَعْلَنْتُ لَهُمْ وَاَسْرَرْتُ لَهُمْ اِسْرَارًاۙ

 Dia (Nuh) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku mengajak kaumku siang dan malam, tetapi seruanku tidak menambah (iman) mereka, melainkan mereka (makin) lari (dari kebenaran).

Sesungguhnya setiap kali aku mengajak mereka (untuk beriman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jarinya ke telinga dan menutupkan baju (ke wajah) mereka. Mereka pun tetap (mengingkari) dan sangat menyombongkan diri.

Kemudian, sesungguhnya aku mengajak mereka dengan cara terang-terangan. Dakwah ini dilakukan setelah dakwah dengan cara diam-diam tidak berhasil.

Lalu, aku menyeru mereka secara terbuka dan diam-diam. Setelah gagalnya dakwah secara diam-diam dan dakwah secara terang-terangan, Nabi Nuh a.s. melakukan keduanya sekaligus.

 (QS. Nuh/:5-9). 

Nabi Nuh, menurut kalangan ulama’ sebagai Rasul pertama, ada kaum, ada ajarannya. Dakwahnya siang-malam, jihar-israr, alaniah-sirr, namun kaumnya malah menutup wajah dan membuntu telinga mereka. Mereka tidak bertambah kecuali makin kufur.

Nabi Muhammad, dakwahnya juga memakai cara sirr, jahr, lemah lembut, juga keras, bahkan perang, tergantung situasi dan kondisi. Antara lain yang sering kita kutip: 

قل الحق و لو كان مرا

 (Nyatakan kebenaran itu, meski pahit)

 اي الجهاد افضل؟ قول الحق عند سلطان جائر

 (Jihad apakah yang paling afdlal? Mengatakan yang benar di hadapan penguasa zhalim)

 اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

 Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.”

(QS. Al-ahl/16: 125)

 Kata Gus Baha’, Khashm (berdebat secara keras) tentang Tuhan dibolehkan, huumnya mubah (QS. Al-Hajj/22: 19), tujuannya untuk mencari dan membutikan kebenaran. Sehingga dialog antar agama, dialog antar ummat beragama, secara teologis diperbolehkan dan absah. Di dalam al-Qur’an banyak contoh dialog, debat, munaqasyah, tentang suatu perkara. Di antaranya ayat berikut: 

۞ هٰذَانِ خَصْمٰنِ اخْتَصَمُوْا فِيْ رَبِّهِمْ فَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا قُطِّعَتْ لَهُمْ ثِيَابٌ مِّنْ نَّارٍۗ يُصَبُّ مِنْ فَوْقِ رُءُوْسِهِمُ الْحَمِيْمُ ۚ 

(Inilah dua golongan (mukmin dan kafir) yang bertengkar. Mereka bertengkar tentang Tuhan mereka. Bagi orang-orang yang kufur dibuatkan pakaian dari api neraka. Ke atas kepala mereka akan disiramkan air yang mendidih).

(QS. Al-Hajj/22: 19)

 Bahwa berdakwah, di dalamnya adalah mengajar, Gus Baha’ ngomong, “Orang alim mikir tenanan, ben muride pinter-pinter. Orang alim kangelan nemu coro ben muride cepet faham, sebalike, murid yo kangelan ben cepet faham.” Jadi, guru, mencari jalan biar orang lain cepat faham, tapi angel. Sebaliknya, murid juga angel untuk cepat faham. Karena itu Gus Baha’ ngomong, ngaji yo ngaji ae, ngaji berdasarkan ilmu, ojok ngaji kerono nafsu, ben oleh kebenaran. Kata beliau: 

Dadi, ngaji iku berdasarkan ilmu, ora berdasar nafsu. Nek berdasarkan nafsu, gak onok benere. Seng bener seng podo karo karepe, kabeh salah nek gak podo karo karepe. Wong ngono iku, jangankan kyai, guru, wong bojone dewe ae disalahno, nek gak cocok karo karepe, kabeh salah. Dadi seng bener opo sesng sesuai karo kekarepane. Nek dunyo diatur koyok ngene rusak. Nek gak cocok karo nafsune, gak bener. Mangkane, ngaji gudu berdasarkan ilmu, ora nafsu.” 

من سلك طريقاً يلتمس فيه علماً سهل الله له طريقاً إلى الجنة

 Menurut Gus Baha’, yang disebut “yaltamisu ilman” adalah orang alim. Karena orang alimlah yang setiap detiknya selalu “mencari ilmu”. Jadi, manakala manusia mau dimudahkan jalannya asuk surga harus menjadi pencari ilmu (alim). Orang awam yang minim ilmunya, tidak masuk kelompok ini, karena biasanya mereka “ikutan” saja apa yang disampaikan ulma’ mereka, tidak “yaltamisu ilman”.

 Pahit di Depan, Manis di Belakang

 Sekarang, boleh jadi ditolak yang lain, dihina, dicaci, dimusuhi, diperangi, namun manakala sudah tiba “waktu”-nya jaya, semua kesulitan akan hilang, musnah semua.

Nabi Muhammad seorang diri, ajarannya diterima sang istri, sepupu, teman sejawat, pembantu rumah tangga, musuh, dan semua kalangan, akhirnya dapat menaklukkan Makkah simbol kekuatan Jazirah Arabia. Dilanjutnya masa Khulaur Rasyidin, Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Mamluk, Ayyubiyah, Mughal, Demak, Mataram Islam, hingga kesultanan Utsmaniah. Kesulitan hilang, kemudahan datang. Ketertindasan lenyap, datang kemenangan. “Inna ma’a ‘lyusri yusra

Muhammadiyah dicetuskan kyai cerdas dan berwawasan luas ke depan, K.H. Ahmad Dahlan, dikucilkan, dimusuhi, dikafirkan, pernah diancam pembunuhan, Langgarnya dirobohkan. Sekarang, ide-ide modernisasinya diserap luas banyak orang, kelompok, organisasi, bahkan negara. Formalnya mungkin ditolak, namun isinya dipakai dan dimanfaatkan.

K.H. Jazuli, awalnya berjuang sendiri, mendirikan ta’lim sederhana di desanya, mendirikan mushalla, lalu berdiri Pondok Pesantren al-Falah, Ploso, Kediri. Awalnya kecil dan penuh rintangan. Sekarang santrinya ribuan. Didampingi istri yang gigih dan pejuang. Siap menyokong ruhani dan duniawi dari “wingking” dan juga depan, mampu mengantarkan Ponpes Ploso sebagai salah satu ponpes terbesar di Indonesia. Anaknya hebat-hebat, cucu-cucunya juga hebat-hebat.

Universitas al-Azhar, Universitas Qarawiyun, universitas tertua di dunia, didirikan perempuan-perempuan muslim hebat. Tentu tantangan dan rintangan selalu menyertai perkembangan dan kemajuan dua universitas hebat tersebut.

Ide Pan Islamisme Afghani, modernisme Abduh, yang disokong murid utamanya, Sayyid Rasyid Ridla al-Husaini, tidaklah mudah. Dituduh agen free Mansoory, atheis, antek Inggris, Mu’tazili, majalahnya dibredel penguasa, bahkan tafsirnya haram dibaca. Ketika “saat”-nya tiba, semua mata terbelalak, terkesima, hati terpatri, telinga menyimak seksama, negara-negara terjajah merdeka, ide modernisasinya diterima. Orangnya telah tiada, namun namanya harum, selalu disebut di mana-mana, murid kelilmuannya, cucu keilmuannya, tidak pernah mati dan padam, selalu menjadi inspirasi modernisasi dan kemajuan ummat Islam di mana-mana.

Keberhasilan tak melulu diukur kuantitas apalagi kuitansi, keberhasilan diukur seberapa kebenaran bisa abadi, walau seorang diri. Socrates, Galileo, Ibn Taimiyah, Diponegoro, Malim Basa, Kyai Hasyim, hingga Habib Riziq, demi membela kebenaran rela masuk bui.

Menjadi dai, guru, kyai, penegak kebenaran, tak mudah, namun wajib dilakukan. Pahit di depan, manis di belakang. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Obituari Kanda Kaeladzi

الحاكم (الصادر الحكم بين أهل الرأي و أهل التقليدي

Menakar Kemuhammadiyahan Kader dalam Pusaran Mulyonoisme