“al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah” Di mana Posisi Muhammadiyah?
Wacana “al-Ruju’
ila al-Qur’an wa al-Sunnah” dalam dunia pemikiran Islam khususnya fiqih dan
Ushul Fiqih, sebenarnya sudah lama, bukan hal baru. Namun gaungnya tetap hidup,
karena yang mendukung maupun yang menolak, sama-sama mendiskursuskan tema tersebut.
Pihak yang mendukung, merasa mendapatkan angin segar untuk melakukan terobosan
baru dalam melahirkan pemikiran baru, baik masalah hukum maupun dalam bidang
lainnya. Sedang bagi yang menolak, karena mengganggu kemapanan selama ini telah
“dinikmati”. Di bawah terlihat, argumen pendukung dan penolak slogan di atas.
Di antara keberatan para penolaknya adalah adanya proses delegimitasi ulama
yang selama ini perannya sangat penting di masyarakat. Dalam NU Online
misalnya menyatakan, “Sebagian kalangan justru menyelewengkan slogan
“Kembali kepada Al-Qur’an [dan Sunnah]” untuk mengeroposkan legitimasi umat
terhadap para ulama.”[1]
Kalau Kembali kepada Al-Qur’an, secara sederhana dapat dimaknai sebagai kembali
kepada “hukum Tuhan”. Dan umat manakah yang tidak ingin berpegang
pada Kitab Sucinya, kepada hukum Tuhannya?
Gus Mus (K.H. Mustofa Bisri) pernah mengatakan, “Kita kembali kepada
al-Qur’an dan Hadits, jangan dengarin kyai’.” Selanjutnya Gus Mus
menyatakan, “Memang ulama’ gak baca al-Qur’an dan Hadits. Lah nek seng dimaksud
al-Qur’an dan Hadits, cuma al-Qur’an terjemahan Depag RI, ... gitu kok sudah berani pidato, kempo, ...
kalau gak ngaji non sense, non sense, kalau Cuma ngaji Geogle, non sense ...”
Kyai Mustofa Bisri pernah bilang, “Kyai itu sendiri adalah dalil, kalau
kyai masih ndalil, belum kyai. Kalau kyai belum bisa dijadikan dalil, belum
kyai. Kalau sekedar dalil, sekedar pinter ceramah, tukang jamu di pasar, pinter
dalil dan pinter pidato, tapi tidak bisa dijadikan dalil, karena bisa ngomong,
tapi durung iso dipercoyo. Nek kyai, meskipun tidak mengucapkan dalil, orang
percaya bahwa sang kyai sudah baca dan hafal di luar kepala dalil yang dibaca.
Jadi, kyai itu dalil itu sendiri.”
Jadi, di kalangan masyarakat kebanyakan, kyai non-modernis jarang
menyebutkan dalil, tidak berarti tidak memiliki dalil. Tidak setiap yang
diucapkan, harus disertai dalil saat itu, karena dalil sudah dibaca dan
dihafal. Namun oleh kalangan kaum non tradisionalis, jadi sasaran kritik, bahwa
kyai mereka, gak punya dalil. Kenyataan ini, harus difahami pergumulan
keberagamaan kalangan awam, yang memang logika yang dipakai adalah logika
jalanan, terminalan, sopir, petani, dan lainnya, yang suka demagogi, bukan argumentasi
saintifik.
Ada perbedaan sosiologis dalam menyikap suatu persoalan keagamaan (mahdlah
dan ghairu mahdlah). Di kalangan modernis, yang penting dalilnya kuat dan
epistemologinya jelas, mereka sami’na wa atha’na. Sebaliknya dari kalangan
non-modernis, kalau belum kyainya yang memberi “ijazah”, tidak mau menerima,
sebaik apa pun dalil yang disusun dan argumen yang dikemukakan, kalau belum
dapat “pengabsahan” dari ulama’-nya, masih belum “maqbulah” (diterima).
Mengapa harus “Kembali kepada
al-Qur’an dan al-Sunnah” memangnya pernah “pergi”? Dalam salah satu tulisan NUCilacap
Online, dan pernah juga dikemukakan oleh Gus Baha’ dan Gus Mus, pernah dilontarkan
candaan, “Kalau boleh kita bercanda, ngapain diajak kembali kalau selama ini
kita enggak ke mana-mana?”[2]
dari candaan ini, ada semacam perasaan dipojokkan bahwa kelompok penolak slogan
di atas, dianggap pergi “ke mana-mana”, padahal selama ini tidak pergi ke
mana-mana, ya tetap berpegang kepada al-Qur’an, Hadits, pemikiran para imam
madzhab, dan ulama’.
Para pendukung slogan di atas,
juga tidak pernah menuduh para penolak pergi ke mana-mana. Hanya para pendukung
slogan tersebut memandang bahwa ada faham, praktik keagamaan yang tidak
“genuine” Islam dan bertentangan pokok-pokok prinsip keislaman, sehingga perlu
“kembali” kepada al-Qur’an dan Sunnah. Inilah yang dikritik, karena ada sesuatu
yang tidak murni Islam, ada divergensi,
asimilasi, bahkan menyimpang dari Islam.
Keberatan yang lain adalah, “Jika
kembali kepada Al-Qur’an dan
Hadits itu kalau maksudnya adalah menghilangkan pola bermadzhab, maka ini
berbahaya. Tetapi apabila maksudnya adalah bagaimana kita berusaha untuk tetap
benar-benar berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadits sesuai metodologi, tata
cara, atau model yang telah diajarkan oleh para ulama, tentu yang kita lakukan
selama ini juga seperti itu.” Selanjutnya dinyatakan, “Imam Bukhari dan Muslim mereka juga tak
mengikuti Madzhab Syafii yang mereka dalam pembukuan Hadits itu sebatas
membukukan. Tidak sampai kemudian membuat satu madzhab fikih tersendiri. Hanya
kepatuhan yang mereka lakukan.”[3]
Kalimat di atas mengisaratkan, ada kekhawatiran bahwa slogan tersebut akan
menggerogoti faham madzhab tertentu yang dianut, fikirannya berubah, dan
mengikuti madzhab pemikiran baru. Padahal, yang mendukung slogan “al-Ruju’
ila al-Qur’an wa al-Sunnah” juga tidak menyatakan bahwa bermadzhab itu
haram dan dilarang. Dalam realitas pemikiran kelompok ini, juga masih mengutip
pendapat-pendapat imam-imam madzhab, dan imam-imam yang lain.
Argumen lain yang dikemukakan adalah, “Apabila seseorang yang kalau
levelnya tidak sampai level keilmuannya atau mujtahid mutlak, maka tentu di
harus bermadzhab. Artinya bermadzhab menjadi sebuah hal yang dilakukan oleh
umat Islam menjalankan syariat agama secara semestinya. Karena kita yakin bahwa
apa yang diajarkan oleh para ulama madzhab ini adalah justru inilah yang
berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadits.”[4]
Karena itu, “Kita mengikuti pendapat para ulama itu justru bagian dari kita
berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits. Tanpa kemudian kita mengajak untuk
kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits. Sebab di atasnya disebutkan kalau kalian
“berpegang”, bukan kalau kalian “kembali”.”[5]
Yang mendukung slogan di atas, juga tidak menuduh bahwa para ulama’ para
imam, dan para imam madzhab tidak berpegang teguh kepada al-Qur’an dan
al-Sunnah, namun bahwa pendapat-pendapat mereka, bukan pendapat yang mutlak
benar dan mutlak tidak bisa dirubah, dan dipertanyakan. Kenyataannya, adanya
imam-imam madzhab dan madzhabnya masih bertahan sampai sekarang, dan
madzhab-madzhab yang hilang madzhabnya karena pengikutnya tidak menjaganya,
adalah bahwa di antara mereka ada “ikhtilaf”, ada perbedaan, ada ketidak
setujuan dalam satu masalah. Mereka para ulama, para imam, dan para imam
madzhab, adalah pionir-pionir yang memikirkan dan mengkaji secara
sungguh-sungguh dan mendalam terhadap firman Allah dan Sunnah Nabinya. Cara
mereka para imam itulah yang mau dihidupkan kembali. Tapi tidak menganjurkan
untuk bertaqlid dan melawan kelompok yang berkeyakinan bahwa pintu
ijtihad masih terbuka.
Ada anggapan bahwa pendukung slogan “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa
al-Sunnah”, minim penguasaan atas ilmu-ilmu keislaman dan cenderung
literar. Pendapat ini tidak hanya dikemukakan oleh kalangan tradisionalis, dari
kelompok modernis pun ada yang menilai bahwa gerakan “al-Ruju’ ila al-Qur’an
wa al-Sunnah” ada yang bermanhaj literaris, tekstualis.[6]
Gus Baha dalam salah satu ceramahnya mengatakan, “Kembali kepada
al-Qur’an dan Sunnah tidak bisa mengesampingkan pemikiran, tafsir, pendapat
para ulama, dan ulama’ itu sendiri sebagai “penyambung” sanad.” Pernyataan
ini sekaligus mengulangi kekhawatiran di atas bahwa peran ulama’ merasa
tergerus oleh arus slogan “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah”, padahal
tidak juga. Yang mendukung slogan di atas, gak mungkin juga berfikir dan
berijtihad tanpa belajar dulu. Dan belajar pasti ada gurunya, kalau sudah alim,
siapa pun itu, maka bebas untuk membaca sendiri, berfikir mandiri, dan tak
mungkin tanpa muraja’ah dan memuthala’ah kitab-kitab dan pendapat para
tokoh, kyai, imam, yang ada sebelum mereka. Dalam dunia keilmuan pesantren, ada
tingkatan orang alim hingga mencapai tingkat mujtahid, dan merekalah yang
diperbolehkan untuk “berfikir mandiri”, karena sudah mampu untuk melakukan
ijtihad, baik ijtihad mustaqil, ijtihad fi al-madzhab, berfatwa, atau
berpendapat.
Pernyataan ini menunjukkan betapa slogan “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa
al-Sunnah” tak semudah yang dibayangkan, simpel, dan menyelesaikan segala
persoalan, tanpa memperhatikan dan menelaah pemikiran ulama’ dan cendekiawan
yang terdahulu dan memperhatikan perkembangan zaman. Ibarat slogan bangsa
Indonesia, Pancasila sebagai penyelamat segala persoalan bangsa, namun
realisasinya tak semudah yang diimpikan. Perlu menimbang dan memperhatikan
pemikiran tokoh pendahulu, dinamika perubahan zaman sekarang, baru mengambil
keputusan.
Memang, slogan “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah”, bisa
mendekonstruksi tatanan pemikiran dan sosial keagamaan. Karena itu, Prof.
Fazlur Rahman dalam bukunya “Islam”, mengangkat topik “al-Ruju’ ila
al-Qur’an wa al-Sunnah” saat membahas tentang modernisme Islam, bahwa slogan
ini, ampuh untuk “membebaskan” diri dari “Tali Lasso”__ meminjam istilah yang
dipakai Prof. Syafii Ma’arif __ pemikiran lama yang “membelenggu”, sekaligus
menjebak diri untuk berfikir literaris, karena seolah al-Qur’an dan al-Sunnah, par
excellence, dianggap tekstualitasnya kebenaran itu sendiri, tanpa perlu
tafsiran terbuka dan pemikiran yang mendalam. Kata Fazlur Rahman, ada watak
“ambigu” dari slogan tersebut, dari satu sisi memang ampuh sebagai upaya “pembebasan”
dari belenggu lama untuk berkreasi secara aktif menghasilkan pemikiran baru,
namun di sisi yang lain adalah berpotensi menjadi “tektualis”, karena
menjadikan “nash” sebagai “teks tertutup” sebagai “hakim” dari segala ikhtilaf,
padahal teks perlu pada tafsir.
Bagi pendukung slogan “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah”, karena
perkembangan zaman memerlukan jawaban yang baru, maka persoalan dan jawaban
terhadap masalah yang datang kemuadian terbuka untuk dijawab secara berbeda, jawaban
yang baru, tidak sama dengan jawaban yang terdahulu.
Memang slogan “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah” terkesan
tekstualis, padahal tidak juga. Ada beragam varian yang lahir dari penganut
slogan tersebut, mulai yang tekstualis hingga yang liberal. Bisa dilihat
perkembangan di Mesir pasca Abduh, di Indonesia pasca Kyai Dahlan, ada yang
tekstualis, moderat, progresif, bahkan liberal. Yang Liberal misalnya Thaha
Husain, Khalafullah, Hassan Hanafi.
Memang kritik Gus Baha’ ada benarnya, ada peng-“khutbah” yang baru belajar
dari Youtube, lalu berceramah tentang topik tertentu, tanpa penguasaan yang
mendalam, sudah menyerang kanan dan kiri, atas dan bawah, belakang dan depan.
Atau belajar kepada satu atau dua guru, dan dilarang berguru kepada yang
berbeda manhaj, sudah berfatwa dengan mendeskreditkan yang lain, dengan minim
ilmu. Memang mengkhawatirkan, berfatwa tidak dengan ilmu, namun berdasarkan
nafsu. Karena itu Gus Baha’ mengkritik tokoh atau kalangan tertentu yang
mengatakan, “Agama kok menurut saya, agama ya berdasar riwayat.” Agama harus
berdasarkan dalil, riwayat, bukan nafsu dan pemikiran sendiri. Masak shalat
misalnya “menurut saya”, ya rusak. Shalat harus berdasarkan riwayat, dalil. Kalau
menurut saya, zhuhur bisa saja misalnya dijadikan 2 rakaat. Atau misalnya
menafsirkan QS. Al-Baqarah/2: 115. Nanti ditafsirkan shalat menghadap ke mana
saja, karena Allah ada “di mana-mana”. Rusak nanti.
Kritik dari kalangan modernis sendiri datang dari Dr. Sukidi, bahwa “al-Ruju’
ila al-Qur’an wa al-Sunnah”, dalam bidang tafsir misalnya, yang berkembang
sejak awal formasi Islam adalah otoritas komunitas penafsir al-Qur’an, bukan
makna dalam teks itu sendiri, karena itu, banyak teks al-Qur’an dibaca secara
berbeda dan memiliki makna dan penafsiran yang berbeda.[7]
Sukidi mengkritik monolitas tafsir yang digaungkan kelompok literaris dengan
menggemakan slogan “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah”. Kata Sukidi,
“Teks al-Qur’an tidak pernah berfungsi dalam tradisi Islam sebagai “a
reservoir of meaning”, karena teks memang tidak mengandung dan membawa
makna apa pun pada dirinya sendiri.[8]
Teks hanya berdiam diri, sementara penafsirnya berbicara dan bergumul dengan
teks dengan memproduksi maknanya melalui proses penafsiran kreatif dalam
memproduksi makna ...”[9]
Sukidi selanjutnya mengatakan, “Pembuktian adanya satu makna tunggal yang
inheren dalam teks al-Qur’an dan dikehendaki oleh Tuhan adalah sesuatu yang
muskil. Bukan hanya karena peristiwa pewahyuan dan kenabian menjadi hak
eksklusif antara Muhammad dan Tuhannya, tetapi juga makna yang diwahyukan oleh
Tuhan kepada Muhammad dalah misteri pewahyuan yang sulit untuk disingkap oleh
siapa pun yang tak pernah melihat proses pewahyuan.
Klaim atas makna yang dikehendaki oleh Tuhan hanyalah strategi manusia untuk
berbicara atas nama Tuhan untuk kepentingan dirinya sendiri. Makna itu
sejatinya tidak pernah berasal dari dan dikehendaki oleh Tuhan.
...Metode “Kembali kepada tradisi tafsir, ...[untuk] menemukan makna yang
diproduksi oleh komunitas penafsir al-Qur’an melalui penafsiran al-Qur’an yang
kreatif dan inovatif.”[10]
Memang di antara yang mengumandangkan “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa
al-Sunnah”, sangat literaris dan hanya menerima pendapat yang satu kelompok
dengan mereka. Namun, tidak semua yang mengusung slogan tersebut berfaham
literaris, ada yang subtantif, filosofis, dan berwatak pembebasan. Dan yang
perlu menjadi catatan bahwa, yang literaris pun, tokoh-tokohnya juga banyak
membaca kitab, hanya mereka “membatasi diri” pada satu kelompok saja. Apalagi
yang berfaham moderen dan liberal.
Tokoh-tokoh yang disebutkan di bawah ini, tidak mungkin tidak menguasai
keilmuan “tradisional”, karena mereka mereka lahir dari rahim madrasah “tradisional”.
Namun karena banyak “membaca” dan berfikir ke depan, bermunazharah dengan
keilmuan moderen, lalu mereka berafiliasi dengan para pemikir modernis untuk
melakukan pembaharuan di tempat mereka berada. Mereka adalah para penguasa
keilmuan tradisional dan menguasai keilmuan moderen, sesuai dengan tingkat
kemajuan zamannya.
Dalam sejarah pemikiran Islam, slogan “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa
al-Sunnah” menemukan momentumnya saat dikumandangkan oleh Syaikhul Islam,
Ibn Taimiyah, untuk membuka jalan baru Islam dari ketertutupan pemikiran baru
dan mengangkat kembali ghirah pemikiran Islam menjadi segar, bebas dari
kejumudan, kebekuan, kemandegan, kemunduran, dan berhentinya
produktifitas dinamika pemikiran Islam, akibat sikap taqlid buta yang
berlebihan, sehingga tidak perlu untuk berfikir lagi dalam menghasilkan
pemikiran yang baru, dan menerima saja yang sudah ada, ambil saja, taken for
granted, hasil ijtihad ulama’-ulama’ terdahulu.
Ibn Taimiyah, karyanya ratusan buku, mulai teologi Islam hingga muqaranah
al-adyan. Muridnya alim-alim, mulai Ibn Qayyim, al-Dzahabi, Ibn Katsir, Ibn
Daqiqil ‘Id, bahkan Imam al-Suyuthi dan Ibn Hajar al-‘Asqalani pernah menimba
ilmu kepada Ibn Taimiyah, saat Ibn Taimiyah berada di Mesir.
Di masa kolonialisme Barat mulai goyah, namun Islam masih dalam keadaaan
dekaden, Jamal al-Din al-Afghani al-Husaini, yang mencetuskan Pan Islamisme,
juga mengangkat isu “Kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah,” sebagai salah
satu isu utamanya.
Di Mesir, slogan “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah” juga
digelorakan oleh Syaikh Muhammad Abduh dan muridnya, Sayyid Rasyid Ridla, yang notabene
keduanya adalah murid dari Jamal al-Din al-Afghani al-Husaini, saat dunia
pemikiran Islam dan politik Islam kalah dengan kemajuan pemikiran dan ilmu-ilmu
Barat.
Di India juga dikumandangkan slogan “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa
al-Sunnah” oleh al-Kandahlawi, dan belakangan oleh Sir Muhammad Iqbal,
filosof, pemikir, dan penyair kenamaan anak Benua India (sebelum berpisah
menjadi dua: India dan Pakistan).
Di Indonesia, slogan tersebut digencarkan oleh kalangan modernis Islam
seperti Syaikh Ahmad Syurkati dari al-Irsyad, K.H. Ahmad Dahlan dari
Muhammadiyah, Ustadz A. Hasan dari Persatuan Islam (Persis).
K.H. Moenawar Chalil, ulama’ Muhammadiyah, menulis buku “Kembali kepada
al-Qur’an dan as-Sunnah”, yang membahas secara “istidlali” perlunya kembali
kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Dan sedikit membahas Ushul Fiqh.
Bahkan ada seorang doktor lulusan McGill University, Canada, Prof. Yudian
Wahyudi, mengangkat tema “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah” sebagai
judul disertasinya, dalam perspektif para “pembaharu” dari Indonesia diwakili
oleh Nucholish Madjid, Mesir oleh Hassan Hanafi, dan Maroko oleh Muhammad abed
al-Jabiri.[11]
Berarti, tema ini menjadi bagian penting dari sejarah pemikiran Islam, baik
di masa decline maupun masa kemajuan Islam. Ide Kembali kepada al-Qur’an
dan al-Sunnah, secara doktrinal memang mendapat mentashhihan secara
teologis, karena al-Qur’an sendiri menyuruhnya: QS. Al-Nisa’/4: 59.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ
وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ
شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ
بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
(Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan
taatlah kepada Rasul (Muhammad), serta ulul amri (pemegang kekuasaan) di antara
kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir.
Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibat).
Dalam ayat di atas, apabila ada “tanazu’” yang sulit diselesaikan,
maka disuruh untuk “dikembalikan” (rudd) kepada Allah dan Rasul-Nya.
Jadi bukan karena “ke mana-mana”, namun karena ikhtilafnya tidak berujung dan
sulit mencari titik temunya, maka penyelesainya adalah dikembalikan “keputusan”
Allah dan Rasul-Nya. Ibarat ada persoalan kebangsaan di Indonesia, apabila ada
carut-marut dan perbedaan yang tak ada ujungnya, maka solusinya dikembalikan
kepada konstitusi.
Sama seperti yang dikemukakan Fazlur Rahman, bagi Yudian, bahwa ciri khas
dari para modernis adalah melepas dari belenggu lama dengan menyandarkan
pemikiran baharu mereka kepada “teks al-Qur’an dan al-Sunnah” melalui
pendekatan mereka masing-masing. Walau tak sama dalam menggunakan pendekatan,
namun sama-sama menggunakan “otoritas” wahyu (al-Qur’an dan al-Sunnah) untuk
“melegimitasi” pemikiran baru mereka.
Kritikan kepada kelompok pendakwah “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah”
tidak menggunakan ilmu-ilmu keislaman seperti Ushul Fiqih, Ulumul Qur’an,
Nahwu, Sharaf, Balaghah, tafsir, tarikh, dan lainnya, juga non sense.
Jika yang dituju adalah kelas pengkhutbah di kampung, cuma lulusan SD, kurang
pendidikan, mungkin benar, namun kalau tingkat tokoh, guru, kyai dari kalangan
modernis, gak mungkin gak pakai ilmu-ilmu keislaman. Malu sendiri, kalau bicara
tanpa ilmu. Gak mungkin seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim, al-Dhahabi, Ibn
Katsir, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh ,
Rasyid Ridla, Kandahlawi, Muhammad Iqbal, Harimau Nan Salapan, Syaikh Haji
Rasul, Tuanku Malim Basa, K.H. Ahmad Dahlan, Syaikh Ahmad Syurkati, K.H. Mas
Mansur, dan lainnya, tidak memiliki ilmu-ilmu alat tersebut. Mereka adalah
terpelajar dan orang alim di masanya.
Taruhlah K.H. Muhammad Darwis, beliau adalah teman satu pesantren dengan
K.H. Hasyim Asy’ari, saat belajar kepada K.H. Saleh Darat as-Samarani, yang
juga gurunya R.A. Kartini. Di Saudi Arabia, juga sama-sama berguru kepada guru
yang sama, antara lain kepada Syaikh Khatib al-Minangkabawi, lalu dikatakan
tidak faham ilmu-ilmu alat, mustahil itu.
Dalam organisasi, misalnya Muhammadiyah yang menggendong slogan “al-Ruju’
ila al-Qur’an wa al-Sunnah”, juga sudah merumuskan “Manhaj Tarjih” dalam
menghasikan fatwa dan keputusan tarjih. Al-Qur’an dan al-Sunnah al-Shahihah
adalah sumber pokok [hukum] Islam. Ijma’, Qiyas, Madzhab Shabi, al-‘adatu
muhakkamah, Istishhab, mashlahah mursalah, dan lainnya, adalah “alat” untuk
memahami sumber pokok hukum, bukan sumber hukum sendiri. Ini bisa dilihat dalam
hal Muhammadiyah menjawab permasalahan, membuat jawaban, fatwa, dan keputusan
Majelis Tarjih Muhammadiyah. Bahkan kalangan luar Muhammadiyah pun diundang
untuk mempresentasikan pendapat ahli dalam masalah tertentu.
Bedanya dengan Nahdlatul Ulama’misalnya, selain mendasarkan kepada
al-Qur’an, Hadits, Ijma’ Qiyas, mashlahah, dan lainnya, bila tidak ditemukan
secara tekstual dalam Qur’an dan Sunnah, lalu ditemukan rujukan dalam kitab
mu’tabar yang menjadi standar manhajnya, langsung diterima dan bisa dijadikan
sebagi pendapat, fatwa, atau keputusan, karena ada “rujukan” dari kitab yang
menjadi pegangan manhajnya. Hal ini bisa dilacak misalnya dalam NU Online.
Taruhlah perbedaaan antara JIL (Jaringan Islam Liberal) dengan Gus Baha’
yang berakar sama dari Jami’iyyah Nahdlatul Ulama’, tentang “Semua agama sama”
yang mendasarkan pada QS. Al-Baqarah/2: 62:
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا
وَالنَّصٰرٰى وَالصَّابِــِٕيْنَ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ
وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani, dan orang-orang Sabiin,29) siapa saja (di antara mereka) yang beriman
kepada Allah dan hari Akhir serta melakukan kebajikan (pasti) mendapat pahala
dari Tuhannya, tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak
bersedih hati.
Menurut JIL, ayat di atas menjadi rujukan bahwa semua agama sama, yang
penting mau beriman kepda Allah, percaya pada Hari Akhir, dan mau berbuat baik,
dijamin akan diberi pahala tanpa ada rasa khawatir sama sekali.
Menurut Gus Baha’, “Hadu” dalam ayat tersebut adalah Yahudi keturunan nabi
Ya’qub, bukan Yahudi dengan penganut faham Zionisme yang sekarang berbentuk
negara Israel, yang penduduknya banyak berdatangan dari berbagai negara di
dunia, yang penting berideologi Zionis. dan Nashrani yang dimaksud adalah
kelompok pendukung (anshar) nabi Isa dalam QS. Ali Imran/3: 52., yang masih
menganut keyanikan monoteisme (tauhid), bukan trinitas. Kalau Nashrani yang
berkeyakinan Trinitas, bukan termasuk ayat ini.
۞ فَلَمَّآ اَحَسَّ عِيْسٰى مِنْهُمُ الْكُفْرَ قَالَ مَنْ
اَنْصَارِيْٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ قَالَ الْحَوَارِيُّوْنَ نَحْنُ اَنْصَارُ اللّٰهِ ۚ
اٰمَنَّا بِاللّٰهِ ۚ وَاشْهَدْ بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ
Ketika Isa merasakan kekufuran mereka (Bani Israil), dia berkata, “Siapakah
yang akan menjadi penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para hawari
(sahabat setianya) menjawab, “Kamilah penolong (agama) Allah. Kami beriman
kepada Allah dan saksikanlah sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim.
Nashara yang menolong dan membantu nabi Isa inilah yang dimaksud oleh ayat di
atas. Bukan Nashrani yang berfaham Trinitas. Sehingga jika Nashrani yang
berfaham Trinitas dan Yahudi yang berfaham Zionis, tidak termasuk yang dimaksud
oleh QS. Ali Imran 3: 52. Jadi, ikhtilaf dalam satu “klan pemikiran” pun
terjadi.
Bagaimana kalau “tanazu’” tersebut yang sama-sama dari satu jam’iyyah,
tidak menemukan titik temunya? Ya harus kembali kepada aturan pokok,
konstitusinya. Karena “konstitusi” itu adalah titik temunya sebagai “kalimah
sawa”. Dalam Islam, juga harus kembali kepada rujukan utama, bukan
secondary-nya. Kenapa? Karena dalam ikhtilaf apapun, harus kembali kepada “teks
asli” untuk dijadikan rujukan dalam “penafsiran”, bukan “tafsir itu sendiri.
Kalau kembali kepada “tafsir”, berarti kembali kepada “tangan kedua”, penafsir,
tafsirnya penafsir, bukan kepada sumber asli, namun “faidl” pancaran dari
sumber utamanya.
Dalam memahami teks, nash, dalil, gak mungkin meninggalkan 100% turats lama
sebagai maraji’ (rujukan). Karena itu “muhal”, mustahil. Sebagai
perbendaraan ilmu, turats adalah lumbung pengetahuan sebagai sumber utama
kekayaan ilmu pengetahuan. Hanya yang jahil saja yang tidak mengetahui arti
penting “turats”. Dari turats itulah pijakan untuk membangun konstruksi yang
baru.
Memang, di kalangan awam, “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah” itu
berarti tekstual, zhahiri saja. Namun bagi intelektual, “al-Ruju’ ila
al-Qur’an wa al-Sunnah”, berarti sesuatu yang “radikal” seperti yang
diistilahkan oleh para filosuf, ahli hikmah, tasawuf, dan pemikir lainnya.
Bukan hanya slogan kosong, namun berisi
Kenapa slogan “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah”, sering “dicemooh”
dan jadi “guyonan”? Karena yang dihadapi adalah jamaahnya, di khalayak ramai
pengikutnya, perlu tepuk tangan, dukungan dan panggung. Dalam pemikiran top
thank-nya, gak mungkin yang dimaksud dengan “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa
al-Sunnah” adalah tekstualis, zhahiri, anti filosofis, dan anti pemikiran.
Gak mungkin.
Prof. Amin Abdullah menawarkan dua cara baca “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa
al-Sunnah”,: Pertama, metode cara baca qira’ah
taqlidiyyah (tekstual dan semi-tekstual), yang dalam praktiknya lebih
berpedoman dan terbimbing oleh cara baca dan tuntunan yang diajarkan oleh para
pendahulunya. Maka konsekuensi mengikuti cara baca seperti ini ialah
terbentuknya aliran-aliran, golongan-golongan sosial (tha’ifiyyah),
dan mazhab-mazhab (mazahib) yang tidak menerapkan pembacaan dan
analisa kritis terhadap teks al-Qur’an dan Hadis.
Kedua, yaitu metode
pembacaan Taarikhiyyah Maqashidiyyah (Kontekstual). Cara ini
mempertimbangkan secara sungguh-sungguh dinamika sejarah dan sosial-budaya
secara cermat-keilmuan (qiraa’ah tarikhiyyah-‘ilmiyyah) dan
tidak hanya berhenti di situ, tetapi dilandasi dengan semangat memprioritaskan
apa tujuan utama beragama (maqashid syari’ah).[12]
Muhammadiyah sendiri, dalam melakukan “ijtihad”, menggunakan pendekatan bayani,
burhani, dan ‘irfani dalam satu kesatuan integralistik yang terkoneksi.
Dan konsep al Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah diberi
penegasan, dengan mengembangkan akal-pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.[13]
Untuk persoalan-persoalan sosial yang tidak memiliki nash langsung, pendekatan
analogi (qiyas) dan persamaan illat menjadi dasar penetapan hukum.
Ust. A. Hamid Fuadi mengatakan,
“Dalam memahami dua sumber tersebut, diperlukan pemahaman terhadap teks-teks,
pemikiran yang maju, dan ilmu pengetahuan yang luas. Semakin tinggi akal
dan luas ilmu pengetahuan yang digunakan, akan semakin kaya makna yang dapat
diambil dari dua sumber tersebut. [14]
Dr. Khaeruddin Hamsin dari
Majelis Tarjih PP.Muhammadiyah mengatakan, Ijtihad sendiri dipandang perlu
ketika menemui nash-nash al-Qur’an dan Hadits yang tidak bisa langsung
dijadikan sumber penetapan hukum dengan hanya melihat kepada lafadznya semata. Pemaknaan
“nash” tidak cukup dengan mengetahui arti lafad semata, dan harus didasari
dengan perangkat keilmuan.[15]
Dalam bahasan yang terbaru dari Majelis Tarjih, DR. Hamim Ilyas menawarkan “mazhab
hukum profetik”, yakni hukum yang bersumber dari Al-Qur’an, hadis, dan
nilai-nilai kemaslahatan umat. DR. Hamim menyebutkan, “Mazhab hukum
Muhammadiyah adalah hukum profetik yang berlandaskan tauhid, ibadah, dan amal
shaleh, serta diarahkan untuk memakmurkan bumi melalui akal sehat yang dinamis
dan progresif.”
DR. Hamim merujuk pada Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang memuat
tujuh pokok ajaran: Ketuhanan, kemanusiaan, kemasyarakatan, keagamaan, ittiba’
Rasul, amar ma’ruf nahi munkar, dan kenegaraan.
Muhammadiyah kembali pada
pengertian syariah sebagaimana dalam Al-Qur’an, yakni mencakup lima aspek
penting yaitu: Kitab suci, kekuasaan, kenabian, kemakmuran, dan keunggulan. “Kalau
hukum agama hanya dimaknai hukum ibadah, maka Islam kehilangan peran
peradabannya. Kalua Islam dijadikan hanya sebatas ritual saja, sama saja dengan
menyempitkan Islam sebagai agama formalistik.
Syariah dalam pengertian
Qur’ani itu adalah jalan menuju urusan-urusan besar (al-amr), yang mencakup
kitab, hukum, nubuwwah, kemakmuran, dan keunggulan.” Mazhab hukum profetik, adalah
sistem hukum yang dibangun atas dasar tauhid, ibadah, dan fi’lal khairat
(amal-amal kebajikan), dengan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial untuk
menciptakan peradaban, kesejahteraan, dan keunggulan.[16]
Itulah dinamika slogan “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah”, terjadi pro dan kontra, ada yang setuju
dan ada yang menolak, ada yang merasa diuntungkan dan ada yang merasa
dirugikan. Sebagai Upaya memahami kembali nash-nash dasar Islam, sah-saja untuk
dikemukakan, tanpa harus menafikan adanya yang menolaknya. Dari pergesekan
intelektual tersebut pastimakan lahir “thesa” baru yang lebih segar. Ibarat sebuah
Keputusan, maka akan menimbulkan pro dan kontra, seperti saat Umar ibn Khattab
jadi khalifah, kelompok Bilal menolak Keputusan Khalifah Umar tentang “rampasan
perang”, namun Umar mengajak untuk “munazharah”, bukan memenjarakan Bilal dan
pendukungnya. Mempertanyakan dan menolak keputusan yang dibuat khalifah, tidak
dilarang dan dikrimalkan, malah diajak untuk diuji secara naqli dan aqli.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
[1] https://www.nu.or.id/pustaka/bermadzhab-jalan-memahami-al-quracircan-dan-as-sunnah-4hKtU.
Diakses tanggal 9 Juli 2025.
[2]
https://pcnucilacap.com/kembali-kepada-al-quran-dan-hadits/ Diakses tanggal 9 Juli 2025.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6]
Zakiyuddin Baidhawy, “al-Ruju’ ila al-Qur’an, dari Kebebalan Foundationalisme
Menuju Pencerahan Hermeneutiks,” dalam Jurnal Ilmiyah Bestari, No.
35-tahun XVI, 2003.
[7]
Sukidi, ”Otoritas Komunitas Penafsir, Bukan Otoritas Teks,” dalam Suara Muhammadiyah,
edisi 11, tahun ke-109, 2024, h. 50-51.
[8] Pendapat
ini berbeda dengan yang diteorikan oleh Islamisis Izutsu, yang menggunakan
pendekatan Semantik, bahwa al-Qur’an dapat memberikan makna dan konsepnya
sendiri, karena antar kata, kalimat, dan ayat, “yufassiru ba’dluhu ba’dlan”
(saling menafsirkan satu dengan yang lain) menjadi satu welltanchaung, world
view.
[9]
Sukidi, ”Abd al-Razzaq b. Hammam al-Shan’ani: Nabi Muhammad Melihat Tuhan,”
dalam Suara Muhammadiyah, edisi 12, tahun ke-109, 2024, h. 48-49.
[10]
Sukidi, ”Metode untuk Menemukan Makna al-Qur’an,” dalam Suara Muhammadiyah,
edisi 11, tahun ke-108, 2023, h. 44-45.
[11] Judul disertasinya Yudian Wahyudi, “The
slogan "Back to the Qur'an and the Sunna" : a comparative study of
the responses of Hasan Hanafi, Muhammad 'Abid al-Jabiri and Nurcholish Madjid.”
(https://escholarship.mcgill.ca/concern/theses/4m90dx085?locale=en
diakses 8 Juli 2023). Sudah diterbitkan di Indonesia.
[12] https://geotimes.id/opini/haruskah-ar-ruju-ila-al-quran-wa-as-sunnah/#google_vignette.
Diakses tanggal 10 Juli 2025.
[13] https://muhammadiyah.or.id/2022/03/beda-ar-ruju-ila-quran-wa-sunnah-muhammadiyah-dengan-gerakan-islam-lain/
diakses 10 Juli 2025.
[14] (/www.kompasiana.com/adihamidfuadi4956/6844c8beed64155460760362/karakteristik-islam-berkemajuan-2?page=1&page_images=1. Diakses tanggal 10 Juli 2025.
[15] https://web.suaramuhammadiyah.id/2021/10/14/muhammadiyah-menjadikan-al-quran-dan-as-sunnah-sebagai-sumber-utama/. Diakses tanggal 10 Juli 2025.
[16] https://muhammadiyah.or.id/2025/07/mazhab-hukum-yang-dianut-muhammadiyah-adalah-mazhab-profetik/.
Diakses tanggal 10 Juli 2025.
Komentar
Posting Komentar