NABI BERIJTIHAD, BOLEHKAH?
NABI BERIJTIHAD, BOLEHKAH?
“Bolehkah Nabi berijtihad?” pertanyaan yang sangat menggelitik para ahli fiqih, Ushul Fiqih, filosof hukum Islam, dan para pemikir keislaman, sejak zaman awal formasi Islam hingga zaman kini. Seorang nabi yang dijamin atas segala perkataan dan perbuatannya dari kesalahan (ma’shum) dan dijamin akan diberi “petunjuk” oleh Allah lewat wahyu atas segala hal yang dihadapi, harus “berfikir keras” (ijtihad) dalam menyelesaikan dan menjawab suatu persoalan di masanya? Ada dua pendapat:
1.
Nabi tidak berijtihad
Pendapat pertama, Nabi tidak berijtihad, karena apa yang dilakukan Nabi, semuanya berdasarkan wahyu Allah, bukan kemauan pribadi, nafsu, atau subyektifitas Nabi. Dalam kasus lupanya Nabi, lupa pun menjadi syariat. Lupanya Nabi dalam jumlah rakaat shalat, menjadi syariat bahwa orang yang kurang dalam jumlah rakaatnya, harus menggenapi, menyempurnakan jumlah rakaatnya. Dan disyariatkan untuk mengerjakan sujud sahwi. Lupa pun karena “rencana” Allah. Nabi lupa, bukan karena Nabi Lupa, namun dilupakan oleh Allah. Kata hadits:,
ุฅِِّูู َูุงุฃَْูุณَู ََِْูููู ุฃَُูุณَّ ِูุฃَุณَُّู
“Sesungguhnya
aku tidak pernah lupa, tetapi aku dibuat lupa (oleh Allah) untuk membuat
kesunnahan” (HR. Imam
Malik).
Nabi pernah ketiduran saat tidur malam, karena mau dibangunkan salah seorang sahabatnya. Yang berjanji ketiduran dan nabi pun ketiduran. Ketidurannya Nabi, karena “ditidurkan” Allah untuk dijadikan syariat, bahwa bila ketiduran, dibolehkan qadla’ shalat. Jadi, Nabi ketiduran pun, jadi syariat. Subuh yang kesiangan karena ketiduran, hukumnya boleh dengan peristiwa tersebut. Imam al-Bukhari dalam kitab Sahih Al Bukhari, sebagai berikut:menceritakan Nabi dan para sahabat subuh kesiangan.
ุนَْู ุนَุจْุฏِ ุงَِّููู ุจِْู
ุฃَุจِู َูุชَุงุฏَุฉَ ، ุนَْู ุฃَุจِِูู ، َูุงَู : ุณِุฑَْูุง ู
َุนَ ุงَّููุจِِّู ุตََّูู ุงَُّููู
ุนََِْููู َูุณََّูู
َ ََْูููุฉً، ََููุงَู : ุจَุนْุถُ ุงَْูููู
ِ : َْูู ุนَุฑَّุณْุชَ ุจَِูุง
َูุง ุฑَุณَُูู ุงَِّููู ،َูุงَู : ุฃَุฎَุงُู ุฃَْู ุชََูุงู
ُูุง ุนَِู ุงูุตَّูุงَุฉِ َูุงَู
ุจِูุงٌَู : ุฃََูุง ุฃُِููุธُُูู
ْ. َูุงุถْุทَุฌَุนُูุง . َูุฃَุณَْูุฏَ ุจِูุงٌَู ุธَْูุฑَُู ุฅَِูู
ุฑَุงุญَِูุชِِู، َูุบََูุจَุชُْู ุนََْููุงُู ََููุงู
َ. َูุงุณْุชََْููุธَ ุงَّููุจُِّู
ุตََّูู ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ ، ََููุฏْ ุทََูุนَ ุญَุงุฌِุจُ ุงูุดَّู
ْุณِ ، ََููุงَู :
َูุง ุจِูุงَُู ، ุฃََْูู ู
َุง ُْููุชَ ؟ َูุงَู : ู
َุง ุฃَُِْูููุชْ ุนَََّูู َْููู
َุฉٌ
ู
ِุซَُْููุง َูุทُّ ،َูุงَู : ุฅَِّู ุงََّููู َูุจَุถَ ุฃَุฑَْูุงุญَُูู
ْ ุญَِูู ุดَุงุกَ ،
َูุฑَุฏََّูุง ุนََُْูููู
ْ ุญَِูู ุดَุงุกَ ، َูุง ุจِูุงَُู ، ُูู
ْ َูุฃَุฐِّْู ุจِุงَّููุงุณِ
ุจِุงูุตَّูุงَุฉِ! َูุชََูุถَّุฃَ ، ََููู
َّุง ุงุฑْุชََูุนَุชِ ุงูุดَّู
ْุณُ َูุงุจَْูุงุถَّุชْ ،
َูุงู
َ َูุตََّูู
Diriwayatkan dari Abdullah ibn Abi Qatadah dari ayahnya berkata: “Kami pernah melakukan perjalanan (yang melelahkan) bersama Nabi SAW, hingga pada suatu malam. Sebagian orang lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sekiranya anda mau istirahat sebentar bersama kami?” Beliau menjawab, “Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan shalat.” Bilal berkata, “Aku akan membangunkan kalian.” Maka mereka pun berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggangannya. Namun ternyata rasa kantuk mengalahkannya dan akhirnya Bilal pun tertidur. Ketika Nabi SAW terbangun, ternyata matahari sudah jelas menampakkan cahayanya, maka beliau pun berkata, “Wahai Bilal, mana janji yang kau ucapkan?” “Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti ini sebelumnya,” jawab Bilal. Beliau lalu bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT memegang ruh-ruh dari kalian menurut kehendak-Nya, dan mengembalikan mereka kepada kalian, juga sebagaimana kehendak-Nya. Wahai Bilal, berdiri dan Adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat! “ Kemudian Rasulullah SAW berwudhu, ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan Shalat.”
Itulah Nabi, apa pun yang keluar dari
Nabi, adalah dalil syar’iy, ada nilai hukumnya, tidak ada yang tidak bernilai
hukum, mulai dari yang bersifat wajib, sunnah, mubah, makruh, maupun haram.
Firman Allah di dalam QS. An-Najm ayat 3-4 :
َูู
َุง َููุทُِู ุนَِู ูฑََٰููููۡٓ ูฃ ุฅِูۡ َُูู
ุฅَِّูุง َูุญٌูۡ ُููุญَٰู ูค
“Dan
tiadalah yang diucapkan (Nabi) itu berasal dari hawa nafsunya. Itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
2.
Nabi berijtihad
Pendapat kedua, Nabi boleh berijtihad, sebagaimana manusia lainnya yang boleh berfikir keras (ijtihad), nabi pun boleh untuk berfikir secara keras, mendalam, sungguh-sungguh dalam berfikir, tidak asal-asalan. Ada peristiwa zaman kenabian, yang bukan “langsung” dari wahyu Allah, namun berasal dari “inisiatif” Nabi sendiri sebagai manusia yang paling cerdas (fathanah) untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan.
QS. An-Najm ayat 3-4 ditafsirkan oleh yang mendukung adanya kebolehan Nabi berijtihad, karena tidak semua yang diucapkan Nabi, berhubungan dengan syariah. Candaan Nabi, pertanyaan tertentu Nabi kepada sahabat beliau tentang kesehatan misalnya, tidak terkait dengan wahyu. Ulama’ Mu’tazilah, Imam al-Jubba’i berpendapat, “Bahwa tidak mungkin semua yang datang dari Nabi adalah wahyu dari Allah SwT., ada yang bersifat kemanusiaan Nabi yang tidak ada hubungannya dengan syara’, seperti gurauan Nabi, candaan Nabi dengan istrinya, bukan wahyu.[2] Segala ucapan beliau yang berhubungan dengan syara’, memang wahyu Allah, namun Nabi tetap diberi otoritas untuk berijtihad, Nabi berijtihad atas izin Allah.”[3]
Apakah ijtihad Nabi pasti benar?
Imam Ibn Hazm, ulama’ besar dari Andalusia,
sekarang Spanyol dan Portugal, yang banyak dimasukkan oleh para ulama’ ke dalam
madzhab Zhahiri, berpendapat tentang ijtihad Nabi, bahwa “Nabi terkadang punya
“iradah” (kemauan) yang tulus ikhlas karena Allah, namun kemauan Allh berbeda
dengan kemauan yang dimiliki Nabi. Lalu Allah memberikan teguran untuk
meluruskan. Ada teguran yang sifatnya tidak setuju, seperti peristiwa Ibn Ummi
Maktum; dan ada teguran yang sifatnya kejadian yang tidak mengenakkan, seperti
teguran kepada nabi Adam dan Yunus.
Dalam peristiwa Ibn Ummi Maktum, Rasulullah secara
tulus ikhlas, dengan harapan tinggi bahwa para “ningrat” kaum Quraisy jika masuk Islam, dapat membawa “anak
buah”-nya masuk Islam. Karena para penggede Qurasy punya pengaruh besar
terhadap kabilah mereka. Dalam fikiran Nabi (ijtihad), jika yang masuk Islam
adalah para pembesarnya (al-mala’), keren. Di samping punya pengaruh, mereka
juga punya harta benda yang banyak. Pada saat yang bersamaan, ada Ibn Ummi
Maktum yang secara fisik ada kekurangan, gak bisa melihat (a’ma), dan bukan
dari kalangan kaya dan bukan dari kalangan ningrat. Tentu Nabi punya sifat
manusia seperti yang lain: “Menginginkan kebaikan yang lebih”. Ternyata sikap
ini ditegur Allah, bahwa sikap seperti itu tidak benar, “memberi perhatian
lebih kepada yang punya kelebihan (tashadda) dan mengesamapingkan orang
yang punya kemauan kebaikan yang kuat, cuma punya kekurangan (talahha).
Kata Allah, beri perhatian kepada yang punya kemauan untuk berislam meski dari
kalangan biasa, karena boleh jadi akan memberikan pengaruh yang besar dan
memberikan manfaat yang besar pua. (QS. ‘Abasa/80: 1-11).
Di antara beberapa peristiwa lain, sehingga Allah “mengingatkan” Nabi, para ulama’ berpendapat bahwa ijtihad nabi ada dua kemungkinan:
1.
Pasti benar. Karena faktor kenabian yang dijamin
kemaksumannya. Antara lain dikemukakan Imam Zakaria al-Anshari
Al Amidi (Imam yang dikatakan
oleh Prof. Fazlur Rahman sebagai salah satu ulama’ ortodoks yang paling
rasional dan liberal) mengatakan, “Ijtihad pasti benar, karena kebenaran adalah
apa yang disimpulkan oleh mujtahid. Kebenaran di sisi Allah memang Tunggal,
yang sangat terkait dengan situasi saat itu. Kebenaran yang ditemukan oleh
mujtahid, itulah kebenaran yang dikehendaki Allah. (Rahman: 245). Memang antar
mujtahid terkadang terjadi perbedaan pendapat tentang satu hal. Namun bagi Imam
al-Amidi, “Satu kebenaran terkadang dapat dilihat oleh seorang mujtahid, namun
ada mujtahid lain yang belum melihatnya.” (Rahman: 245). Artinya, pendapat
mujtahid beragam dan terkadang tidak sama, hal tersebut karena perbedaan sudut
pandang.
Jika menggunakan perspektif
al-Amidi, ijtihad Rasulullah pasti benar, walaupun ada koreksi dari Allah atau
beliau sendiri, pada zaman sekarang, pohon-pohon Kurma banyak dibudidayakan,
sehingga jumlah pejanytan dn penyerbukannya tidak seperti zaman Nabi, boleh
jadi, tanpa penyerbukan lewat tangan manusia, melalui angin misalnya, sudah
efektif sebagai wasilah pembuwahan, lalu hasilnya baik dan lebat, maka hal
tersebut menunjuk pada makna bahwa ijtihad Nabi, boleh jadi saat itu kurang
tepat, namun di periode selanjutnya dapat dibuktikan kebenarannya.
Di antara argument al-amidi
yang menyatakan bahwa ijtihad Nabi tidak mungkin salah, karena Nabi ma’shum.[4]
Kelompok rasionalis Mu’tazilah tentang kema’shuman berkomentar, “Tidak mungkin orang yang melakukan kesalahan-kesalahan besar menjadi penerima wahyu. Jika pun tidak melakuan kesalahan kecil sekali pun, tidak rasional, karena Nabi sebagaimana manusia lainnya.”[5]
2.
Ada kemungkinan shalah. Karena nabi juga “basyar”
(manusia sebagai makhluk biologis, manusia yang secara fisik sebagai makhluk
ciptaan Allah) juga “insan” yang bisa salah (khatha’) dan lupa (nisyan).
Dalam kasus Nabi Adam, dalam QS. Thaha/20:121, Nabi dikatakan Allah “asha”
(durhaka, melanggar), setelah bertaubat, Allah menerima taubatnya. Ibn Hazm
menyebut nabi Adam tidak melakukan dosa (irtikab al-istsm), nabi Adam
hanya melakukan sesuatu yang menurut “ta’wil”-nya hukumnya “nadb”
(anjuran), bukan haram (larangan), cuma menurut kehendak Allah, larangan
tersebut bersifat larangan (tahrim). Penjelasan Ibn Hazm ini sebagai
contoh bahwa seorang rasul ada kemungkinan untuk melakukan suatu kesalahan.
Mengutip Imam Nawawi al-Bantani, Gus Baha’ mengatakan, “Nabi Adam tidak
ada kesalahan sama sekali dalam “kasus pohon Khuldi”, Nabi Adam hanya ketipu
iblis karena “menggunakan” nama Allah untuk menipu Adam. Nabi Adam tidak
terfikirkan kalau ada makhluk yang menggunakan nama Allah untuk menipu.”
Bagi Gus Baha’, Adam tidak sama sekali salah, hanya ketipu Iblis gara-gara
menggunakan “Nama Allah” untuk kebohongan.
Ibn Taimiyah, ulama’ mujaddid yang meninggal di penjara penguasa
ini,--kalau sekarang para pejuang kebenaran banyak yang dipenjara penguasa,
sudah menjadi determinisme historis—berpendapat, “Para nabi, termasuk Nabi
Muhammad dilindungi dari kesalahan (ma’shum), untuk menjaga otentisitas wahyu
dan kenabian itu sendiri. Namun, nabi tidak ma’shum dalam hal-hal yang di luar
risalah.
Imam Nawawi yang menulis Syarah Ahahih Muslim memberi komentar tentang
kema’shuman Nabi: "Ketahuilah bahwa Nabi ma’shum dari perbuatan dusta,
dari merubah hukum-hukum syariat dikala sehat ataupun sakit, ma’shum dari
mengabaikan penjelasan pada apa apa yang harus ia jelaskan, ma’shum dari
kelalaian dalam menyampaikan apa-apa yang telah ditetapkan Allah. Namun, Nabi
tidak ma’shum dari kondisi sakit, kondisi lemah pada fisiknya yang tidak
mengurangi kedudukan beliau sebagai rasul dan tidak pula sampai merusak pada
syari'at yang dibawanya.”
Ibn Khaldun menulis dalam “Muqaddimah”-nya, “Penjelasan Rasulullah saw., tentang obat tradisonal hanya ide murni beliau, bukan berasal dari wahyu Allah. Rasulullah mengetahui masalah ini berdasarkan kebiasaan dan pengalaman beliau. Pengobatan yang dinukil dalam hadits Rasulullah sebenarnya tidak ada yang berasal dari wahyu Allah. Sistem pengobatan ini diambil dari tradisi orang-orang Arab. ... Rasulullah hanya diutus untuk mengajari syariat Agama, bukan untuk mengajarkan sistem pengobatan dan tradisi lainnya.”[6]
Rasulullah SAW bersabda:
ุฅุฐุง ุญูู
ุงูุญุงูู
ูุงุฌุชูุฏ ูุฃุตุงุจ ููู ุฃุฌุฑุงู، ูุฅุฐุง ุญูู
ูุงุฌุชูุฏ ูุฃุฎุทุฃ ููู ุฃุฌุฑ ูุงุญุฏ
“Apabila seorang hakim membuat Keputusan, dia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Dan apabila dia membuat Keputusan, berijtihad dan ijtihadnya salah, maka akan mendapatkan satu pahala”. (HR.Bukhari dan Muslim).
Menurut al-Syathibi, “hanya ada
satu kebenaran dalam setiap masalah.” (R: 246). Tidak ada dua orang yang
mujtahid yang pendapatnya benar-benar satu pendapat secara mutlak dalam satu
masalah (R: 246). Obyek-obyek pengetahuan tidak berubah, hanya cara pandang
yang berbeda, dan hanya ada satu kebenaran tentang suatu obyek, dan pendapat
yang benar Adalah yang sesuai dengan bukti-bukti (Rahman; 246-247).
Contoh ijtihad Rasulullah SAW. terkait tawanan perang Badar. Rasulullah SAW meminta pendapat para sahabatnya untuk menyelesaikan masalah ini. Ada yang mengusulkan untuk dibunuh. Ini adalah pendapat Umar ibn al-Khaththab. Mayoritas mengusulkan agar tidak dibunuh dan mengambil tebusan dari mereka. Pendapat terakhir inilah yang dipilih oleh Rasulullah SAW.. Setelah itu Allah menurunkan ayat sebagai koreksi atas ijtihad Rasulullah SAW, Bersama sahabat beliau.[7] Allah SWT. Menurunkan ayat:
ู
َุง َูุงَู َِููุจٍِّู ุฃَْู ََُูููู َُูู ุฃَุณْุฑَู ุญَุชَّู ُูุซْุฎَِู ِูู ุงْูุฃَุฑْุถِ
ุชُุฑِูุฏَُูู ุนَุฑَุถَ ุงูุฏَُّْููุง َูุงَُّููู ُูุฑِูุฏُ ุงْูุขุฎِุฑَุฉَ َูุงَُّููู ุนَุฒِูุฒٌ
ุญَِููู
ٌ
“Tidak patut buat seorang Nabi mempunyai tawanan
sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta
benda duniawi, sedangkan Allah menghendaki akhirat. dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”. (QS. al-Anfal: 67)
Lalu bagaimana cara untuk mengkompromikan
dua hal yang saling bertolak belakang ini? Syaikh Manna’ al-Qaththan dalam Mabahits
Fii Ulumil Qur’an menjelaskan, hadits Nabi SAW terbagi menjadi dua. Pertama,
Hadits Tauqifi, hadits yang bersumber dari wahyu Allah SWT.,
sehingga tidak mungkin ada kesalahan dalam hadits jenis ini.
Kedua, Hadits Taufiqi.
Hadits yang berasal dari isthinbath Rasulullah SAW dari
ayat-ayat al-Qur’an dengan pemahaman beliau melalui proses ta’ammul (perenungan)
dan ijtihad. Jika hasil ijtihadnya benar, maka akan Allah SWT tetapkan. Namun
jika terjadi kekurang tepatan maka Allah SWT akan menurunkan wahyu untuk
membenarkannya.[8]
Ijtihad Rasulullah SAW. dalam
masalah membiarkan pohon kurma tanpa penyerbukan buatan. Para sahabat Anshar
yang kebanyakan berprofesi sebagai petani kurma akhirnya mengikuti nasehat
Rasulullah SAW. Ketika musim panen tiba, ternyata buah kurma yang dihasilkan
tidak seperti biasanya. Akhirnya mereka mengadukan hal tersebut kepada
Rasulullah SAW. Rasulullah SAW pun menjelaskan bahwa mereka lebih tahu
dibanding beliau dalam urusan dunia mereka.
Peristiwa yang lain adalah ijtihad Rasulullah SAW dalam memilih posisi dalam perang Badar. Salah seorang sahabat yang melihat bahwa ijtihad Rasulullah SAW dalam memilih tempat kurang strategis, sehingga ada yang memberanikan diri bertanya pada Nabi SAW., “Apakah keputusan beliau tersebut wahyu dari Allah?” Rasulullah SAW menjelaskan bahwa. “Keputusan beliau adalah murni ijtihad, bukan berdasar pada wahyu yang turun dari Allah.” Akhirnya Rasulullah SAW mengikuti ijtihad sahabat tersebuti untuk berpindah dan memilih tempat yang lebih strategis, dekat tempat air, hingga akhirnya kemenangan pun dapat diperoleh oleh pasukan kaum muslimin.[9]
Contoh Ijtihad Nabi yang lain:
1. Tikus dan Biawak sebagai perwujudan kutukan Allah atas Bani
Israil.
Rasulullah saw. pernah menyatakan bahwa tikus dan biawak adalah berasal dari Bani Israil yang dilaknat Allah SwT.. kata Rasulullah, “Tikus dan Biawak lebih suka susu Kambing daripada susu Unta. Ini mirip dengan kebiasaan Bani Israil yang lebih suka susu Kambing daripada susu Unta.
ُِููุฏَุชْ
ุฃُู
َّุฉٌ ู
ِู ุจَِูู ุฅุณْุฑุงุฆَِูู، ูุง ُูุฏْุฑَู ู
ุง َูุนََูุชْ، ููุง ุฃُุฑุงูุง ุฅَّูุง
ุงَููุฃْุฑَ، ุฃูุง ุชَุฑََْูููุง ุฅุฐุง ُูุถِุนَ ููุง ุฃْูุจุงُู ุงูุฅุจِِู َูู
ْ ุชَุดْุฑَุจُْู، ูุฅุฐุง
ُูุถِุนَ ููุง ุฃْูุจุงُู ุงูุดَّุงุกِ ุดَุฑِุจَุชُْู؟ (ุฑูุงู ู
ุณูู
)
Satu kaum dari Bani Israel telah hilang. Tidak diketahui apa yang mereka lakukan. Aku melihat mereka berubah menjadi tikus. Tidakkah kau lihat bahwa ketika susu Unta disajikan di hadapan mereka, mereka tidak meminumnya, dan ketika susu Domba disajikan di hadapan mereka, mereka meminumnya?” (HR. Muslim).
ูุง
ุฃุนุฑุงุจُّู ! ุฅَّู ุงَููู ุบَุถِุจَ ุนูู ุณِุจْุทَِْูู ู
ู ุจูู ุฅุณุฑุงุฆَูู ูู
َุณَุฎَูู
ุฏََูุงุจَّ
َูุฏِุจَُّูู ูู ุงูุฃุฑุถِ ، ููุง ุฃَุฏْุฑِู ูุนู ูุฐุง ู
ููุง ูุนูู ุงูุถَّุจَّ َููุณْุชُ ุขُُูููุง
ููุง ุฃََْููู ุนููุง (ุฑูุงู ู
ุณูู
)
Namun ada hadits lain menyebutkan yang sama adalah sisi sifat saja.
ุนู ุงุจู ู
ุณุนูุฏ ، ูุงู : ุณุฃููุง ุฑุณูู ุงููู
ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
ุนู ุงููุฑุฏุฉ ูุงูุฎูุงุฒูุฑ، ุฃูู ู
ู ูุณู ุงููููุฏ؟ ููุงู : (ูุง، ุฅู ุงููู ูู
ููุนู ููู
ุง ูุท
ูู
ุณุฎูู
، ููุงู ููู
ูุณู، ูููู ูุฐุง ุฎูู ูุงู، ููู
ุง ุบุถุจ ุงููู ุนูู ุงููููุฏ ูู
ุณุฎูู
ุฌุนููู
ู
ุซููู
)[10]
Syaikh Muhammad Abduh ketika menafsirkan
firman Allah,
ููููุง ูุฑุฏุฉ ุฎุงุณุฆูู
“Jadilah
kalian monyet yang hina”
Abdduh menafsirkan ayat ini hanyalah sebagai makna alegoris, bahwa Bani Israil dengan kera sekedar sama sifat kemonyetannya.
2. Cita-Cita Nabi merubah arah Qiblat.
Nabi dan
ummat Islam pernah menghadap qiblat shalat ke arah Baitul Maqdis, Palestina, selama
16 bulan, sebelum akhirnya berubah menghadap ke Ka’bah, Masjidil Haram, Makkah
al-Mukarramah. Keinginan Nabi untuk merubah qiblat tersebut dalam kajian fiqih
dimasukkan ke dalam bab “ijtihad” Nabi, di mana pada saat-saat setelahnya,
keinginan Nabi tersebut dilegalkan oleh Allah dengan menurunkan QS.
Al-Baqarah/2: 144.
َูุฏْ َูุฑٰู ุชََُّููุจَ َูุฌَِْูู ِูู
ุงูุณَّู
َุงุۤกِۚ ََََََُِّّูููููููู ِูุจَْูุฉً ุชَุฑْุถَٰููุง ۖ ََِّููู َูุฌََْูู ุดَุทْุฑَ
ุงْูู
َุณْุฌِุฏِ ุงْูุญَุฑَุงู
ِ ۗ َูุญَْูุซُ ู
َุง ُْููุชُู
ْ ََُّْููููุง ُูุฌَُُْูููู
ْ ุดَุทْุฑَูٗ
ۗ َูุงَِّู ุงَّูุฐَِْูู ุงُْูุชُูุง ุงِْููุชٰุจَ ََููุนَْูู
َُْูู ุงََُّูู ุงْูุญَُّู ู
ِْู
ุฑَّุจِِّูู
ْ ۗ َูู
َุง ุงُّٰููู ุจِุบَุงٍِูู ุนَู
َّุง َูุนْู
ََُْููู
(144.
Sungguh, Kami melihat wajahmu (Nabi Muhammad) sering menengadah ke
langit, lalu Kami alihkan engkau ke kiblat yang engkau ridlai. Maka,
hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Di mana pun kamu berada, hadapkanlah
wajahmu ke arah itu. Sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab benar-benar
mengetahui bahwa kebenaran dari Tuhan mereka. Allah tidak lengah terhadap apa
yang mereka kerjakan).
Jadi, tidak setiap yang diinginkan Nabi, tidak direstui Allah. Adakalanya “ijtihad” yang disetujui Allah ijtihad yang berasal dari Nabi, dan adakalanya ada ijtihad yang disetujui Allah yang berasal dari ijtihad sahabat Nabi saw.
3. [Enggan] Menikahi Istri Anak Angkat.
Tradisi
Arab, pantangan untuk menikahi janda dari anak angkat, dalam kondisi apa pun.
Baik janda kaya, miskin, cantik, atau tidak cantik, punya anak banyak, atau
belum punya anak, dalam tradisi Arab, menikahi janda anak angkat Adalah sebuah
aib.
Nabi
diperintah langsung oleh Allah untuk menikahi Zainab binti Jahsyi, janda dari
anak angkat Nabi, Zaid ibn Haritsah.
Di bawah
akan dikutipkan peristiwa tersebut dalam QS. Al-Ahzab/33: 36-39, serta semangat
yang terkandung di dalamnya:
َูู
َุง َูุงَู ِูู
ُุคْู
ٍِู ََّููุง ู
ُุคْู
َِูุฉٍ
ุงِุฐَุง َูุถَู ุงُّٰููู َูุฑَุณُُْูููٗٓ ุงَู
ْุฑًุง ุงَْู ََُّْูููู َُููู
ُ ุงْูุฎَِูุฑَุฉُ
ู
ِْู ุงَู
ْุฑِِูู
ْ َููۗ
َْู َّูุนْุตِ ุงَّٰููู َูุฑَุณَُْูููٗ ََููุฏْ ุถََّู ุถًَٰููุง
ู
ُّุจًِْููุงۗ َูุงِุฐْ ุชَُُْููู َِّููุฐِْูٓ ุงَْูุนَู
َ ุงُّٰููู ุนََِْููู َูุงَْูุนَู
ْุชَ
ุนََِْููู ุงَู
ْุณِْู ุนَََْููู ุฒَْูุฌََู َูุงุชَِّู ุงَّٰููู َูุชُุฎِْْูู ِْูู َْููุณَِู
ู
َุง ุงُّٰููู ู
ُุจْุฏِِْูู َูุชَุฎْุดَู ุงَّููุงุณَۚ َูุงُّٰููู ุงَุญَُّู ุงَْู ุชَุฎْุดُٰูู ۗ
ََููู
َّุง َูุถٰู ุฒَْูุฏٌ ู
َِّْููุง َูุทَุฑًุงۗ ุฒََّูุฌََْٰูููุง َِْููู َูุง ََُْูููู
ุนََูู ุงْูู
ُุคْู
َِِْููู ุญَุฑَุฌٌ ِْููٓ ุงَุฒَْูุงุฌِ ุงَุฏْุนَِูุงِِูููٕۤ
ْ ุงِุฐَุง َูุถَْูุง
ู
َُِّْููู َูุทَุฑًุงۗ ََููุงَู ุงَู
ْุฑُ ุงِّٰููู ู
َْูุนًُْููุง ู
َุง َูุงَู ุนََูู
ุงَّููุจِِّู ู
ِْู ุญَุฑَุฌٍ ِْููู
َุง َูุฑَุถَ ุงُّٰููู َููٗ ุۗณَُّูุฉَ ุงِّٰููู ِูู
ุงَّูุฐَِْูู ุฎََْููุง ู
ِْู َูุจُْู ََููุۗงَู ุงَู
ْุฑُ ุงِّٰููู َูุฏَุฑًุง ู
َّْูุฏُْูุฑًุงۙ
ุۨงَّูุฐَِْูู ُูุจَِّูุบَُْูู ุฑِุณٰٰูุชِ ุงِّٰููู ََููุฎْุดََْูููٗ ََููุง َูุฎْุดََْูู
ุงَุญَุฏًุง ุงَِّูุง ุงَّٰููู ََٰููููۗ ุจِุงِّٰููู ุญَุณِْูุจًุง
37. (Ingatlah) ketika engkau (Nabi Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Pertahankan istrimu dan bertakwalah kepada Allah!” sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak untuk engkau takuti. Maka, ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila mereka telah menyelesaikan keperluan terhadap istri-istrinya. Ketetapan Allah itu pasti terjadi.
38. Tidak ada keberatan apa pun
pada Nabi tentang apa yang telah diputuskan Allah baginya. (Allah telah
menetapkan yang demikian) sebagai sunah Allah pada (nabi-nabi) yang telah
terdahulu. Ketetapan Allah itu merupakan ketetapan yang pasti berlaku,
39. (yaitu) orang-orang yang
menyampaikan risalah-risalah Allah, dan takut kepada-Nya serta tidak merasa
takut kepada siapa pun selain kepada Allah. Cukuplah Allah sebagai pembuat
perhitungan.)
Nabi
akhirnya menikahi Zainab atas perintah Allah untuk mengubah tradisi, persepsi,
dan keyakinan orang Arab, bahwa status anak angkat sama persis seperti anak
kandung. Allah menegaskan bahwa anak angkat statusnya tidak sama dengan anak
yang lahir dari Rahim ibu, anak kandung, anak biologis, yang berasal dari darah
daging orang tua aslinya, dengan anak angkat, anak pungut, anak adopsi, atas
pungutan dari orang lain, sehingga nasabnya tetap berbeda. Nasabnya tidak boleh
dinisbatkan kepada ayah atau ibu angkatnya, namun kepada ayah atau ibu
kandungnya. Hukum itulah yang mau dirubah oleh Allah, sehingga jelas posisi dan
relasinya dalam silsilah keluarga, baik dalam hal muhrim, kekerabatan, kewarisan,
dan hukum lainnya.
4. Memberi izin [orang munafik] tidak ikut perang.
Nabi
sempat memberikan izin kepada beberapa orang [munafik] untuk tidak ikut Perang
Tabuk dengan berbagai alasan yang mereka kemukakan kepada Nabi saw., namun
pemberian izin tersebut menyebabkan yang lainnya terpengaruh sehingga tidak
ikit perang. Nabi diingatkan oleh Allah atas izin tersebut. Allah mengingatkan
bahwa yang minta izin tidak ikut perang, hanya diajukan oleh orang-orang
munafik yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam QS. Al-Taubah/9:
42:
ุงِِْููุฑُْูุง ุฎَِูุงًูุง َّูุซَِูุงًูุง
َّูุฌَุงِูุฏُْูุง ุจِุงَู
َْูุงُِููู
ْ َูุงَُْููุณُِูู
ْ ِْูู ุณَุจِِْูู ุงِّٰููู ุۗฐُِٰููู
ْ
ุฎَْูุฑٌ َُّููู
ْ ุงِْู ُْููุชُู
ْ ุชَุนَْูู
َُْูู َْูู َูุงَู ุนَุฑَุถًุง َูุฑِْูุจًุง
َّูุณََูุฑًุง َูุงุตِุฏًุง َّูุงุชَّุจَุนَُْูู َِْٰููููۢ ุจَุนُุฏَุชْ ุนََِْูููู
ُ ุงูุดَُّّูุฉُۗ
َูุณََูุญَُِْْูููู ุจِุงِّٰููู َِูู ุงุณْุชَุทَุนَْูุง َูุฎَุฑَุฌَْูุง ู
َุนَُูู
ْۚ َُُِْْูููููู
ุงَُْููุณَُูู
ْۚ َูุงُّٰููู َูุนَْูู
ُ ุงَُِّููู
ْ َٰููุฐِุจَُْูู ࣖ ุนََูุง ุงُّٰููู ุนََْููۚ
ِูู
َ ุงَุฐِْูุชَ َُููู
ْ ุญَุชّٰู َูุชَุจَََّูู ََูู ุงَّูุฐَِْูู ุตَุฏَُْููุง َูุชَุนَْูู
َ
ุงْٰููุฐِุจَِْูู َูุง َูุณْุชَุฃْุฐَُِูู ุงَّูุฐَِْูู ُูุคْู
َُِْููู ุจِุงِّٰููู َูุงَْْูููู
ِ
ุงْูุงٰุฎِุฑِ ุงَْู ُّูุฌَุงِูุฏُْูุง ุจِุงَู
َْูุงِِููู
ْ َูุงَُْููุณِِูู
ْۗ َูุงُّٰููู
ุนَِْููู
ٌۢ ุจِุงْูู
ُุชََِّْููู ุงَِّูู
َุง َูุณْุชَุฃْุฐَُِูู ุงَّูุฐَِْูู َูุง ُูุคْู
َُِْููู
ุจِุงِّٰููู َูุงَْْูููู
ِ ุงْูุงٰุฎِุฑِ َูุงุฑْุชَุงุจَุชْ ُُْูููุจُُูู
ْ َُููู
ْ ِْูู
ุฑَْูุจِِูู
ْ َูุชَุฑَุฏَّุฏَُْูู
(41.
Berangkatlah kamu (untuk berperang), baik dengan rasa ringan maupun
dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang
demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
42. Sekiranya (yang kamu
serukan kepada mereka) adalah keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan
yang tidak seberapa jauh, niscaya mereka mengikutimu. Akan tetapi, (mereka
enggan karena) tempat yang dituju itu terasa sangat jauh bagi mereka. Mereka
akan bersumpah dengan (nama) Allah, “Seandainya kami sanggup niscaya kami
berangkat bersamamu.” Mereka membinasakan diri sendiri dan Allah mengetahui
sesungguhnya mereka benar-benar para pembohong.
43. Allah memaafkanmu (Nabi
Muhammad). Mengapa engkau memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi
berperang) sehingga jelas bagimu orang-orang yang benar-benar (berhalangan) dan
sehingga engkau mengetahui orang-orang yang berdusta?
44. Orang-orang yang beriman
kepada Allah dan hari Akhir tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut)
berjihad dengan harta dan jiwa mereka. Allah Maha Mengetahui orang-orang yang
bertakwa.
45. Sesungguhnya yang meminta izin kepadamu (Nabi Muhammad untuk tidak berjihad) hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan hati mereka ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguan.
5. Kasus Zhihar.
Dalam kasus “Zhihar”
(menyamakan istri dengan “punggung” ibu kandungnya). Rasulullah menjawab
berdasar kebiasaan orang Arab menzhihar istrinya: Haram ruju’. Namun Khaulah
keberatan karena memiliki banyak anak dan perekonomiannya tidak memungkinkan
mencukupi untuk mengasuh anak-anak Khaulah dan suaminya. ‘ala kulli hal, Allah
menerima “pengaduan” (tahawura) keberatan Khaulah dengan menurunkan QS.
Al-Mujadilah/: 1-4. Kita kutipkan kisah tersebut di bawah ini:
“Satu
ketika suaminya Aus bin Shamit dalam keadaan marah telah berkata,” Engkau
bagiku seperti punggung ibuku.” Kemudian Aus pun keluar setelah mengatakan
kalimat tersebut dan kemudiannya pulang dan berhajat untuk menggauli Khaulah.
Atas kesadaran hati dan kehalusan perasaan, Khaulah menolak permintaan Aus
hingga jelas hukum Allah terhadap kejadian yang baru pertama kali terjadi dalam
sejarah Islam itu. Khaulah berkata pada suaminya, Aus, “Tidak…jangan! Demi yang
jiwaku berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh mengauliku atas apa yang engkau
telah ucapkan sehingga Allah dan Rasulnya memutuskan hukum tentang peristiwa
yang berlaku ke atas kita.”
Kemudian
Khaulah keluar menemui Rasulullah saw, lalu duduk di hadapan Nabi saw dan
menceritakan apa yang telah berlaku lalu meminta hukum dari Nabi saw.
Rasulullah saw bersabda, “Kami belum pernah terjumpa hukum berkenaan hal ini…
aku tidak melihat melainkan engkau sudah haram baginya.”
Wanita
mukminah ini mengulangi ceritanya kepada Nabi saw serta kesan yang akan menimpa
dirinya dan anaknya jika ia bercerai dengan suaminya, namun rasulullah saw
tetap menjawab, “Aku tidak melihat melainkan engkau telah haram baginya”.
Selepas
daripada itu beliau sentiasa berdoa menadah tangannya ke langit sedangkan di
hatinya tersembunyi kesedihan dan kesusahan. Sambil menangis-nangis beliau
berdoa kepada Allah dengan berkata,”Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepadaMu
tentang peristiwa yang menimpa diriku”.
Kesan
dari doa wanita yang solehah ini akhirnya Allah swt menurunkan wahyunya kepada
Nabi saw lalu Nabi pun mengkhabarkan kepada Khaulah dengan katanya,”Wahai
Khaulah, sungguh Allah telah menurunkan wahyu tentang masaalah kamu dan suamimu
kemudian beliau membaca firman-Nya (ertinya), “Sesungguhnya Allah telah
mendengar perkatan wanita yang mengajukan masaalanya kepada kamu tentang
suaminya, dan mengadukan [halnya] kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab
antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat,…sampai
firman Allah: “dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang
pedih.”(Al-Mujadalah:1-4).
Kemudian
Rasulullah saw menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarat (tebusan) Zhihar
dengan katanya,” Perintahkan kepadanya (suami Khaulah) untuk memerdekan hamba.”
Jawab Khaulah ,” Ya Rasulullah dia tidak memiliki seorang hamba yang boleh
dimerdekakan.” Kata Nabi lagi,” Kalau begitu suruhlah beliau berpuasa dua bulan
berturut-turut.” Namun jawab Khaulah lagi,”Demi Allah wahai Rasulullah beliau
seorang yang tak mampu untuk berpuasa.’Jawab Nabi saw kembali,” Kalau begitu
suruhlah dia memberi makan kepada 60 orang fakir miskin.”Jawab Khaulah lagi
memberia alasan,” Demi Allah ya! Rasulullah beliau tidak berharta untuk berbuat
demikian” Akhir sekali kata Nabi saw,” Aku bantunya dengan separuh dan kamu
bantu dia dengan separuh lagi. Maka Khaulah pun pergi untuk melaksanakannya.
Ummul mukminin Aisyah ra berkata tentang hal ini, “Segala puji bagi Allah yang Maha luas pendengaran-Nya terhadap semua suara, telah datang seorang wanita yang megadu masaalahnya kepada Rasulullah saw, dan meminta hukum dari Nabi saw sedangkan aku berada dibalik dinding rumahku dan tidak mendengar apa yang dia katakan, maka kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkatan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukan (halnya) kepada Allah…” (Al-Mujadalah: 1).”[11]
6. Kasus QS. Al-Tahrim.
Nabi pernah mengharamkan madu karena ingin meredakan kecemburuan istri Nabi kepada Istri lainnya. Tindakan nabi yang “mengharamkan” yang halal, ditegur Allah, karena hendak menyenangkan istri yang cemburu tersebut. Di antara kisahnya, diceritakan oleh Imam Al-Bukhari, hadits dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, sebagai berikut:
ุฃََّู
ุงَّููุจَِّู ุตََّูู ุงُููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ َูุงَู َูู
ُْูุซُ ุนِْูุฏَ ุฒََْููุจَ
ุจِْูุชِ ุฌَุญْุดٍ، ََููุดْุฑَุจُ ุนِْูุฏََูุง ุนَุณًَูุง، َูุชََูุงุตَْูุชُ ุฃََูุง َูุญَْูุตَุฉُ:
ุฃََّู ุฃََّูุชََูุง ุฏَุฎََู ุนَََْูููุง ุงَّููุจُِّู ุตََّูู ุงُููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ
َْููุชَُْูู: ุฅِِّูู ุฃَุฌِุฏُ ู
َِْูู ุฑِูุญَ ู
َุบَุงِููุฑَ، ุฃََْููุชَ ู
َุบَุงِููุฑَ،
َูุฏَุฎََู ุนََูู ุฅِุญْุฏَุงُูู
َุง، ََููุงَูุชْ َُูู ุฐََِูู، ََููุงَู: ูุงَ، ุจَْู ุดَุฑِุจْุชُ
ุนَุณًَูุง ุนِْูุฏَ ุฒََْููุจَ ุจِْูุชِ ุฌَุญْุดٍ، ََْููู ุฃَุนُูุฏَ َُูู، ََููุฒََูุชْ: َูุง
ุฃََُّููุง ุงَّููุจُِّู ِูู
َ ุชُุญَุฑِّู
ُ ู
َุง ุฃَุญََّู ุงَُّููู ََูู – ุฅَِูู – ุฅِْู
ุชَุชُูุจَุง ุฅَِูู ุงَِّููู، ِูุนَุงุฆِุดَุฉَ َูุญَْูุตَุฉَ
Maghafir
adalah sejenis tumbuhan yang memiliki rasa yang enak, namun bau yang
dikeluarkannya sangat tidak enak, sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah seseorang yang tidak suka tercium dari tubuh atau mulutnya bau yang
tidak enak.[12]
Itulah di
antara qauliyah, fi’liyah, dan himmah Nbai saw.. ada yang
diiqrar oleh Allah dan ada pula yang dikoreksi. Bila menggunakan
pendekatan gradasi pentasyrian, maka apa pun yang keluar dari nabi dari aspek
apa pun, menjadi hukum, mulai dari yang mubah hinngga yang haram.
Bila ada perubahan hukum, maka yang pertama dimansukh, sedang yang
datang berikutnya sebagai pe-nasikh.
Jika ikut
perspektif bahwa Nabi memiliki sifta “basyar” sebagai makhluk biologis dan
“insan” (manusia sebagai makhluk ruhani), yang menerima sifat kemanusiaan
sebagaimana sifat manusia umumnya, Cuma dibedakan dengan jaminan “ma’shum” dari
Allah, bisa diterima adanya keliru dan alpa.
Semuanya adalah
perdebatan fiqih dan teologis, namun terlepas dari sikap di atas, semua yang
datang dari nabi adalah uswah (bisa dijadikan tauladan), muhakkamah (dijadikan
hukum positif), mutafalsafah (bisa diambil hikmahnya). Sebagai
bagian dari keyakinan ummat Islam bahwa Nabi saw., bersifat ma’shum (bersih
dari salah dan dosa), adakalanya yang dikehendaki Nabi saw. berbeda dengan apa
yang dimaui Allah, sehingga seolah-olah sebagai kesalahan, padahal tidak.
[1] https://www.harakatuna.com/benarkah-rasulullah-pernah-lupa.html
diakses tanggal 8 Agustus 2025. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Islam
Web.com. https://www.islamweb.net/ar/library/content/77/466
diakses tanggal 8 Agustus 2025.
[2]
Abdul Jalil ‘Isa Abu An-Nashr, Ijtihad Rasulullah Saw., terj. Wawan
Djunaedi S., (Jakarta, Pustaka Azzam, 2001), h. 47.
[3] Abdul Jalil, Ibid., h. 49.
[4]
Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terjemahan dari buku, “Islamic
Methodology in History, (Bandung, Pustaka, 1984), 254.
[5] Ibid.,
h. 255.
[6] Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Mesir,
Mathba’ah al Amiriyah, 1321 H), h. 467.
[7] https://www.rumahfiqih.com/fikrah/360. diakses tanggal 8 Agustus 2025.
[8] https://www.rumahfiqih.com/fikrah/360. diakses tanggal 8 Agustus 2025.
[9][9] https://www.rumahfiqih.com/fikrah/219 diakses tanggal 8 Agustus 2025.
[10] https://www.islamweb.net/ar/library/content/203/660/
diakses tanggal 8 Agustus 2025.
[11] http://hambalialorstari.blogspot.com/2009/07/asbun-nuzul-hukum-zihar.html.
Diakses 14 Agustus 2025.
Afwan seh Bukhori sang Alamah, sy al- faqr ini ikut ngacung: Ya, Nabi boleh berijtihad.
BalasHapusAwalan:
Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh seorang ulama untuk menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nash (dalil) jelas dalam Al-Quran dan Hadits.
.... ..
Nabi Muhammad SAW, sebagai seorang nabi dan rasul, juga melakukan ijtihad dalam berbagai situasi, terutama dalam hal-hal yang tidak terkait langsung dengan wahyu tapi berkaitan dg masalah-masalah duniawi.
Meskipun Nabi Muhamnad itu ma'sum (terjaga dari kesalahan) dalam hal wahyu dan prinsip-prinsip agama, beliau tetap melakukan ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya atau dalam urusan dunia.
Contoh Ijtihad Nabi:
1. Perang Badar: Nabi memilih posisi strategis dalam perang, yang kemudian diubah berdasarkan masukan dari sahabat. Ini menunjukkan bahwa beliau berijtihad dan terbuka terhadap masukan lain.
2. Penyerbukan Kurma: Nabi awalnya melarang penyerbukan kurma, namun kemudian membiarkan para sahabat melakukannya karena mereka lebih ahli dalam hal tersebut. Ini menunjukkan bahwa beliau berijtihad dalam urusan duniawi dan mengakui keahlian orang lain.
Demikian seh, mhn diampuni jk kurang berkenan ๐๐๐
Menurut aliran yang membolehkan Nabi berijtihad, logikanya sederhana, "Wong Nabi niku orang yang paling cerdas, fathonah, kok gak boleh ijtihad, gak masuk nalar.
BalasHapusYg gak masuk nalar, Nabi gak bisa berfikir, itu yg mustahil.
Nyatanya, dalam hadits yg Yai sebutkan d atas, Nabi ditanya, "Itu pendapat Nabi atau Wahyu?" Nabi ngendikan, "bukan". Karena itu, sahabat berani usul, dan idenya diterima Nabi.
Dengan demikian nabi memang"berijtihad", mikir jero, sebelum datangnya wahyu.
Saya baca2 itu technically untuk menyebut Istilah. Ada yang cespleng nyebut Nabi "berijtihad" karena realitasnya "Wahyu Major" belum turun, dlm istilah fiqih dan Ushul fiqh disebut "ijtihad".
BalasHapusKelompok yang pro leterlek QS an-Najm, semua atas "skenario" Allah, dan apa yg diijtihadi Nabi adalah 'wahyu kecil ' shg ia tetap syariah.
Dua2 pendapat itu ada dalam catatan sejarah pemikiran Islam yg tidak bisa nafikan.
Yang gak bisa diterima, kalau ummatnya NUTUP JALAN ijtihad. ๐๐๐