SE ABAD MUHAMMADIYAH DI ALABIO

SE ABAD MUHAMMADIYAH DI ALABIO 

AMUNTAI - M Japeri adalah pemegang kartu tanda anggota (bewijs van lidmaatschap) Muhammadiyah nomor urut 01 untuk wilayah Kalimantan Selatan.Japeri tidak berjuang sendirian. Ada satu tokoh lagi, yakni Usman Amin.Keduanya membesarkan Muhammadiyah dari Alabio, sebuah kampung di Kabupaten Hulu Sungai Utara.Cerita ini dituturkan oleh pengurus bidang kaderisasi HSU Muhammadiyah, Abdul Rohim.

Pertama-tama, Japeri adalah putra dari Umar dan Siti Hawa. Lahir tahun 1875. "Beliau lahir dari keluarga terpandang di Alabio," ujarnya, Sabtu (5/11).

Kakek Japeri, Saifuddin dihormati karena kekuatan fisik dan keberaniannya. Sedangkan kedua saudara kakeknya, Aminuddin dan Alimuddin tersohor karena kealimannya.

Pada umur enam tahun, Japeri mulai belajar mengaji. Hanya dalam waktu enam bulan ia sudah khatam Al-Qur'an.Selanjutnya mendaras kitab kuning. 

Dari Alabio ke Nagara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Setelah itu beralih ke Pamangkih, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Pindah lagi ke Kelua, Kabupaten Tabalong.

Menginjak remaja, usia 15 tahun, Japeri naik haji. Dia sempat bermukim selama lima tahun di Makkah untuk mendalami ilmu agama.Alkisah, Japeri kerap tidur hanya berbantalan batok kelapa. Tujuannya agar tidurnya tidak terlalu nyenyak.

Pada umur 20 tahun, Japeri pulang ke kampung halamannya. Menikahi Siti Safiah dan dianugerahi empat anak. Yakni Abdul Karim Japeri (almarhum), M Hasan Japeri, M Kasyful Anwar Japeri (Kepala Madrasah Mualimin Muhammadiyah Alabio), dan Achmad Tajuddin Japeri (pedagang di Banjarmasin)

.Sebagai ulama muda, Japeri dikenal pendiam dan ramah. "Beliau mulanya membangun musala kecil. Tempat di mana orang bisa salat dan belajar mengaji," 
kata Rohim yang juga Wakil Direktur II Ponpes Nurul Amin.

Pengajian untuk laki-laki dikhususkan setiap hari Ahad. Masyhur dengan sebutan “mengahad”. Sedangkan untuk perempuan, rutin pada hari Senin, sebutannya "nyenayan".Selasa, Japeri mengajar keluar Alabio. Naik kereta kuda atau perahu. 

Tepatnya di Kampung Jarang Kuantan, dekat Amuntai.Sedangkan Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu merupakan hari-hari cadangan untuk memenuhi undangan-undangan ceramah di berbagai tempat.“Jadi dalam sepekan, semua hari disediakan untuk kepentingan dakwah,” tegas Rohim.Seiring waktu jamaahnya terus bertambah. Musala itu berkembang menjadi madrasah, lalu menjadi pondokan. Santrinya berdatangan dari Kelua, Tanjung, Tawia, Rantau dan Nagara.Japeri dikenal sebagai ulama yang senang berdialog. “Beliau kerap berdiskusi dengan para ulama Alabio,” ujarnya 

.Pada umur 32 tahun, tahun 1907, Japeri diangkat menjadi khatib tetap Masjid Jami Alabio. “Jabatan yang beliau pegang sampai wafat,” ujarnya.Tahun 1908, pemerintah Hindia Belanda menawarkan posisi anggota Raad Agama dan jabatan Mufti Amuntai, tetapi Japeri menolaknya.

Awal persinggungan dengan Muhammadiyah berawal dari berlangganan majalah Al-Munir yang terbit di Padang, Sumatera Barat. Japeri memang gandrung membaca.

Perkembangan berikutnya, pada tanggal 22 Desember 1914, berdiri cabang Sarekat Islam (SI) di Alabio. Pendiri dan pemimpin SI, HOS Tjokroaminoto (1882-1934) bahkan disebut-sebut pernah berkunjung ke Kalimantan.Japeri bergabung ke SI. Tapi ketertarikan kepada Muhammadiyah menguat berkat persahabatannya dengan Usman Amin.Usman adalah seorang saudagar terkemuka asal Alabio yang bermukim di Surabaya. Keduanya berkomunikasi lewat korespondensi. Dari surat yang menyurat itu, Usman mengabarkan tentang berdirinya Muhammadiyah di Yogyakarta.Terinspirasi itu, Japeri pertemuan agar umat kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis. Meninggalkan praktik beragama yang kolot dan sinkretik.Reaksinya, Japeri mendapat tantangan dari ulama dan umat yang menolak perubahan.Menghadapi kesukaran itu, 

Maret 1923, Japeri berangkat ke Jogja. Mengantarnya untuk masuk sekolah HIS dengan de Quran yang didirikan Muhammadiyah.Sayang, Japeri tak sempat bertemu dengan Kiai Ahmad Dahlan, karena beliau sudah tutup usia pada tanggal 23 Februari 1923. "Kala itu beliau hanya menengok makam Kiai Dahlan di Karangkajen," katanya.Ditemani Usman, Japeri berkeliling melihat sekolah, panti asuhan, rumah sakit, surau dan percetakan milik Muhammadiyah. Di asrama pelajar di Ngapilan, tamu dari Kalimantan ini disambut dengan hangat.Pulang ke Alabio pada bulan April, Japeri mengajak teman-temannya dari kalangan ulama dan pedagang untuk bermusyawarah. Hingga akhirnya berdirinya Muhammadiyah di Alabio.

Japeri pun resmi memegang kartu anggota nomor I/12541. Angka 12541 merupakan petunjuk, bahwa hanya segitu jumlah anggota Muhammadiyah di Indonesia kala itu.Mereka kemudian mengusahakan pendirian sekolah. Karena gedungnya belum ada, belajar mengajar menempati rumah beberapa dermawan.Ketika pendirian sekolah dimulai, Japeri memberi contoh, menyerahkan hartanya untuk sumbangan awal. Hingga akhirnya terkumpul dana kurang lebih 30 ribu gulden.Sekolah ini dibangun di atas perbatasan dua kampung, Teluk Betung dan Pandulangan. Rampung tanggal 13 Juli 1926.Cita-cita pertama terwujud, Japeri semakin bersemangat. 

Berturut-turut gedung kantor pengurus Muhammadiyah, panti asuhan, sekolah khusus dai dan kader Muhammadiyah dibangun.Dilanjutkan dengan pembangunan sekolah putri Aisyiyah, koperasi, dan penerbitan majalah Seruan Muhammadiyah.Japeri juga mendatangkan guru-guru Muhammadiyah yang telah dibor di Jogja ke Alabio. Mereka datang dari berbagai daerah, seperti Jawa, Sumatera dan Sulawesi.Sementara dari pengikut Muhammadiyah lokal juga bermunculan sosok-sosok pengajar. Salah satunya Amran Abdullah, mantan Ketua Pengurus Muhammadiyah Kalsel.Sekali lagi, oleh masyarakat Banua, Muhammadiyah mendapat tanggapan beragam. Disambut hangat dan dingin. Mendapat penerimaan dan penolakan.Pada tahun 1927, Japeri naik haji untuk kedua kalinya. Setahun berselang ia pulang dengan tekad menyebarkan Muhammadiyah di luar Alabio

.Usianya kian lanjut, tapi semangatnya belum kendor. Japeri mulai menjelajah ke Kalimantan Tengah, Timur dan Barat.Usahanya tidak sia-sia. Cabang di Hulu Sungai, Banjarmasin, Martapura, Kuala Kapuas, Muara Teweh, Puruk Cahu dan Sampit mulai berdiri. Disusul cabang-cabang di Kotabaru, Pulau Derawan, dan Pontianak.Pemuda-pemudi Alabio yang telah dididik di sekolah Wustha Muallimin kemudian menyebar untuk membina cabang-cabang baru tersebut.

Hebatnya, di tengah kesibukannya, Japeri masih sempat menulis buku. Berjudul 'Neraca' dan 'Risalah Nasihatul Ikhwan' yang dicetak di Singapura.Sementara 'Akidatul Iman wal Islam' dikarangnya saat dalam perjalanan menuju Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru. Buku ini kemudian dicetak di Balikpapan pada tahun 1910.Japeri pun sempat dua kali menghadiri kongres Muhammadiyah di Jogja sebagai perwakilan Kalimantan.Mati Dalam DakwahUntuk menghidupi keluarga, Japeri memelihara ternak kerbau di Tempakang, Danau Panggang. Dari Alabio, menuju ke sana harus naik perahu. Japeri juga memiliki kebun karet dan sawah.Jadi bukan menggantungkan hidupnya pada organisasi, Japeri justru menghidupi organisasinya.Seorang kawan dekatnya, Bastami pernah berkata, "Beliau (Japeri) menyebarkan agama bukan hanya dengan propaganda.Tetapi dengan perbuatan nyata dan bukti, di antaranya dengan harta bendanya."Japeri tak pernah menunda-nunda salat lima waktu. Diceritakan, dalam sebuah perjalanan dari Rantau menuju Martapura, saat tiba waktu salat, Japeri meminta sopir mobil untuk berhenti. Agar ia bisa salat di tepi jalan.Oleh kesaksian tuan rumah yang menjamunya, sebagai tamu, Japeri tak pernah meninggalkan rawatib (salat sunah sebelum dan sesudah salat fardu). Puasa sunahnya juga tekun.Soal kepribadian, Japeri tak pernah menyimpan dendam. Stok maafnya melimpah. Sebagai pelopor Muhammadiyah, tentu cercaan dan fitnah kerap dialamatkan kepada dirinya.Puncaknya, para pembencinya pernah mengirimkan surat kepada Inlandsche Zaken di Jakarta. Meminta Japeri dihentikan sebagai khatib Masjid Jami Alabio. Pemerintah kemudian mengadakan pemungutan suara. Ternyata, 90 persen suara menolak pencopotan tersebut.Hingga ajalnya tiba. Japeri jatuh sakit dalam perjalanan dakwah. Ia sempat dirawat di rumah sakit di Balikpapan, lalu pindah ke Banjarmasin.Pulang ke rumahnya di Alabio, Japeri dinasihati dokter untuk banyak-banyak beristirahat. Tapi ia masih bergiat seperti biasa. Hingga penyakitnya kumat pada tanggal 3 Mei 1932.Saat dijenguk, Japeri kerap mewejangkan tentang tauhid. Dua bulan terbaring, setelah salat asar dan berwasiat, Japeri meninggal dunia. Tepatnya pada hari Selasa, 2 Rabiul Awwal 1351 atau 5 Juli 1932.Usianya, 61 tahun menurut perhitungan kalender hijriyah atau 57 tahun menurut kalender masehi.

Dari berbagai cabang Muhammadiyah di Kalimantan, berdatangan telegram berisi ucapan belasungkawa.Kaum Tua vs Kaum MudaUsman Amin lahir di Sungai Tabukan, Alabio. Berdagang mebel jati, ia bermukim di Lawang Agung, Jawa Timur.

Di Surabaya, ia mendirikan Persatuan Putera Borneo. Usman menjalin hubungan yang baik dengan pemimpin-pemimpin di Jawa.Sebut saja KH Mansur, KH Fakih, Agus Salim, Sangaji, Wondoamiseno, Ahmad Syurkati, Umar Hubas, Ir M Noer dan Dr Soetomo.Di tengah kesibukannya berdagang, Usman rajin menambah ilmu agama. Ke rumahnya ia mendatangkan seorang guru, Ahmad Ghanaim, ulama asal Arab.Sementara di kampung halamannya, ia mendengar tentang pergolakan hebat antara kaum muda  dan kaum tua.Lewat surat, Usman meminta Japeri untuk berkunjung melihat-lihat keadaan di Jawa.Usman lah yang menjadi penghubung antara pengurus pusat Muhammadiyah dengan pengurus yang baru tumbuh di Kalimantan.

Pada bulan Agustus 1925, seorang guru dikirimkan ke Alabio dari Jogja. Namanya Ridwan. Datang bersama istrinya Saringatun, anaknya Untari dan pesuruhnya Abdullah.Ada cerita lucu di sini. Dahulu orang Jawa takut dengan Kalimantan. Stigmanya, orang sini bisa makan orang. Kanibal. Usman lah yang mendasarkan cerita miring tersebut.

Februari 1926, sekolah Muhammadiyah berdiri di Alabio. Jumlah muridnya 350 anak. Menepati lima rumah dermawan.Pusat kegiatannya berada di Rumah Saman. Di sana pula Ridwan sekeluarga tinggal.Pada malam hari, diterangi lampu pompa, diadakan kelas malam. Khusus bagi orang-orang dewasa yang ingin belajar membaca dan menulis.Dalam nada setengah berguyon, kelas malam itu disebut 'Menyesal School'. (mar/gr/fud)
Editor: Muhammad Helm


Alabio;  Embrio Gerakan Muhammadiyah Banua (1)
Dari Rumah Sekolah, Gerakan Pendidikan Mewabah
Alabio tak hanya identik dengan itiknya. Dari sini, pergumulan kaum muda dan tua berawal di Tanah Banjar.
Catatan: Didi Gunawan & Yusuf, BanjarmasinPOLDER Alabio hingga kini masih menjadi saksi bisu menggambarkan daerah agraris yang terletak di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), melahirkan para pedagang ulung yang membuana. Dulu, Alabio berupa kewedanan mencakup Sungai Pandan, Babirik, dan Danau Panggang. Ada yang menafsirkan asal muasal kata Alabio berasal dari bahasa Inggris; I love You (ai laf yu), atau konon ada seseorang bernama Ala, yang memelihara burung Beo, hingga melekat nama tersebut menjadi Alabio. Namun, Alabio hingga kini masih identik dengan gudang awal pergerakan Muhammadiyah di Kalsel.Adalah seorang pedagang meubel asal Alabio bernama H Usman Amin yang bermukim di Surabaya, dekat dengan DR Soetomo dan bersahabat dengan pendiri Muhammadiyah, KH Achmad Dahlan di Yogyakarta, yang membawa paham keagamaan sekaligus pergerakan organisasi Islam itu ke Tanah Banjar.Tertarik dengan gerakan KH Achmad Dahlan, H Usman Amin pun pulang ke Alabio pada 1923. Setelah berdiskusi dan lama berkorespondensi dengan tokoh ulama berpengaruh di Banua Anam, KH Japeri bin Usman, maka disepakati untuk membentuk jaringan Muhammadiyah di Kalsel pada 1925. Gerakan utama H Usman bersama H Usman Amin adalah pemurnian kembali ajaran Islam dengan kembali ke tuntunan Alqur’an dan Alhadits. Mereka memang mendapat penentangan hebat, hingga berbuah teror di tengah masyarakat yang masih menjalankan tradisi kuat.Dalam buku yang ditulis Abdulhamid Kaderi, cetakan tahun 1975 dijelaskan H Usman adalah pendiri Persatuan Putera Borneo di Surabaya, yang memiliki hubungan erat dengan para tokoh pergerakan di Pulau Jawa seperti KH M Mansur, Fakih Usman, H Agus Salim, AM Sangaji, Wondoamiseno, Ahmad Syurkati, Umar Hubas, Ir M Nooer, dan Dr Soetomo. “Beliau bukan hanya pedagang ulung, tapi juga penuntut ilmu agama yang kuat, hingga pernah belajar dengan ulama Arab Saudi bernama Ahmad Ghanaim,” tulis Abdulhamid Kaderi dalam bukunya. Nah, ketertarikan dua tokoh awal Muhammadiyah Kalsel itu juga tak lepas, ketika KH Japeri diundang datang ke Surabaya oleh H Usman Amin pada 1923, khususnya gerakan Muhammadiyah di Yogyakarta yang menitikberatkan pada bidang pendidikan dan kesehatan, seperti pendirian rumah sekolah, rumah yatim, dan rumah miskin dan lainnya.Menariknya, H Japeri sendiri belum sempat bertemu dengan KH Achmad Dahlan. Namun, ketika berziarah ke makam pendiri Muhammadiyah di Yogyakarta, justru simpati tumbuh, hingga mengukuhkan dirinya sebagai anggota tersiar Muhammadiyah dengan kartu anggota nomor buku 12.541.Nah, gerakan H Usman dan H Japeri sepulang ke Alabio, bisa mengumpulkan para alim ulama, saudagar, hingga tetuha masyarakat untuk pendirian Muhammadiyah. Hubungan Muhammadiyah Alabio dengan episentrumnya di Yogyakarta tetap menganut sistem komando. Ya, karena Hoofs Bestuur atau Pengurus Besar (kini Pimpinan Pusat) Muhammadiyah terus membina jaringannya, seperti dikirim guru-guru untuk mengajar di sekolah Muhammadiyah yang didirikan di Alabio. Salah satu pengajar sekolah Muhammadiyah pertama asal Yogyakarta adalah Ridwan, yang membawa serta istrinya; Saringatun dan putrinya; Untari dan pesuruhnya; Abdullah ke Alabio.Ada cerita menarik yang ditulis Abdulhamid Kaderi dalam bukunya. Nama Ridwan, terkadang disebut Masriduan, namun kaum muda awal Muhammadiyah Alabio menyebutnya sebagai Guru Masridluan Hajir, yang merupakan sebutan kehormatan, serta gelar karena pindah dari Jawa ke Kalimantan sebagai muhajir atau hajir.Di era Ridwan ini bersama H Usman dan KH Japeri, izin pendirian Pengurus Muhammadiyah memang mengalami kendala. Sebab camat (asisten kiai/asisten wedana) yang merupakan bawahan HPB Tuan Kontelir di Amuntai, masih enggan memberikan izin pendirian jaringan Muhammadiyah di Alabio.Baru, pada Februari 1926, izin resmi diberikan untuk Sekolah Muhammadiyah yang bisa menampung 350 anak bertempat di 5 buah rumah di Kampung Teluk Betung. Rumah-rumah yang jadi sekolah itu adalah milik H Saman, H Matsif, H Saaluddin, H Masdar dan Dakhlan Abdullah (Ja’far). Tentu saja, untuk mengurusi lima rumah sekolah itu, Ridwan tak bisa sendirian, hingga didatangkan lagi guru-guru dari Jawa, seperti As’ad Al-Kalaly dari Cirebon (berasal dari Al Irsyad), Kusno, Abdul Mu’thi dan Tafsir dari Yogyakarta plus guru-guru lokal Alabio.Dari semua rumah sekolah itu, kediaman H Saman dipilih jadi pusat kegiatan Muhammadiyah.  Keluarga besar Ridwan, As’ad dan Kusno menjalankan proses pembelajaran dari pagi hingga pukul 13.00, kemudian dilanjutkan dari pukul 14.00 hingga 17.00 sore. Cukup ramai siwa yang belajar di rumah sekolah Muhammadiyah ini. Bahkan, sekolah juga dibuka malam hari dengan penerangan lampu pompa gasoline, hingga sekolah malam ini dikenal sebagai ‘Menyesal School’ yang diperuntukkan bagi orang dewasa dan tua yang mengenakan kacamata untuk belajar baca tulis huruf latin dan bahasa Arab. Dari rumah sekolah ini akhirnya tumbuh embrio pergerakan kaum muda di Alabio, dan menyebar dan mewabah di Tanah Banjar.“Alabio memang sangat identik dengan Muhammadiyah di Kalsel. Mereka bukan saja pedagang ulung, tapi juga punya jaringan kuat di Jawa dan Sumatera, ditambah lagi sebagian Urang Alabio belajar di Solo yang menjadi basis penganut Muhammadiyah. Hasil interaksi ini yang dibawa pulang ke Alabio,” ujar peneliti keislaman asal IAIN Antasari, DR Ani Cahyadi Maseri.Walau diakui Ani, gesekan awal pendirian Muhammadiyah di Alabio sangat kuat karena keberadaan kaum tua di Hulu Sungai yang dekat dengan Nadhlatul Ulama (NU) paling berpengaruh. “Namun, yang pasti, gesekan itu tak seperti di Jawa Timur atau sebagian Jawa Barat. Muhammadiyah dan NU yang ada di Kalsel itu masih bersifat kultural, bukan struktural. Artinya, mereka tidak puritan, karena masih mengakui perbedaan tersebut,” tutur doktor jebolan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.(bersambung)
Diposting 2nd April 2016 oleh didi g sanusi


Penelitian yang berjudul “Sejarah Muhammadiyah di Kalimantan Selatan (1925-2007)“ ini bertujuan untuk mengetahui kapan masuknya Muhammadiyah di kalimantan Selatan dan amal usaha apa saja yang dimiliki oleh Muhammadiyah kaimantan Selatan. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa Muhammadiyah di Kalimantan Selatan  berdiri di mulai dari  Alabio Kabupaten Hulu Sungai Utara pada tahun 1925 yang dipelopori H. M. Japeri dan  H. Usman Amin. Setelah Muhammadiyah berdiri di Alabio barulah menyebar ke seluruh Kalimantan Selatan, yaitu Kandangan pada tahun 1931 yang dipelopori H. Karim dan Bey Arifin, Martapura tahun 1932 yang dipelopori Hasan Corong, Abdullah bin Saif dan Ali Mubarok, Banjarmasin tahun 1932 yang dipelopori oleh H. Bustami, H. Amin dan H. M. Yasin, Marabahan tahun 1939 dipelopori oleh Tambi Hasan, Tanjung: Haruai 1934 yang dipelopori oleh Amir Hasan, dan Kelua dipelopori oleh H. Basri, H. Abdul Hamid, dan Awang Martaguna. Di Rantau Muhammadiyah berdiri tahun 1927 dipelopori oleh Kepala Desa  (Pembakal) Juhri, Matlima dan Abdul Samad, Pagatan Batu Licin tahun 1964 yang dipelopori oleh  Abd Rahim  Gani dari Makassar, dan Pelaihari tahun 1963 dipelopori oleh Pransyah.Pimpinan Wilayah Muhammadiyah  Kalimantan Selatan berdiri tahun 1932 yang dipelopori oleh Zam Zam Aidit yang sekaligus merupakan pimpinan wilayah Muhammadiyah pertama  (1932-1936). Pimpinan wilayah selanjutnya dipimpin oleh K. H. Abdullah Tjorong (1936-1946), K. H. M.Hasan Tjorong (1946-1957), H.. Amran Abdullah ((1957-1972), H. Gusti Abdul Muis (1972-1992), H. Abdul Chalik Dahlan (1992-1997), Drs. Abdul Rivai (1997-2000), Drs. H. Muhammad Ramli (2000-2005), Drs. H. Adijani Al-Alabij, SH (2005-2010). Adapun penyebaran pengembangan Muhammadiyah di Kalimantan Selatan melalui bebarapa saluran seperti saluran pendidikan, saluran perdagangan, saluran amal usaha, dan organisasi otonom Muhammadiyah.
Peneliti : Sahriansyah, Alfian Khairani, MasriDana Penelitian : DIPA IAIN Antasari Banjarmasin Tahun 2009.v ; 202 ;Call Number :2×6.61SAHp(3)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Obituari Kanda Kaeladzi

الحاكم (الصادر الحكم بين أهل الرأي و أهل التقليدي

Menakar Kemuhammadiyahan Kader dalam Pusaran Mulyonoisme