Dalam Diri Kita ada Ruh
Dalam Diri Kita ada Ruh
DR. Nur Kholis
(Dosen IAIN Tulungagung)
Jamak diketahui bahwa setiap diri manusia terdiri dari jasadiyah dan ruhaniyah. Keduanya menyatu, saling menguatkan dan membuatnya bernilai. Jika salah satu ditiadakan, maka diri manusia menjadi tidak bernilai. Tubuh menjadi perantara, instrumen terjadinya pergerakan, sementara ruh menjadi sumber gerakan. Keduanya harus mendapat asupan nutrisi agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai kodratnya, yaitu kebaikan.
Ruh memerlukan nutrisi atau makanan berupa nilai-nilai, norma, ilmu, keyakinan, dan ma’rifat. Asupan demikian secara disiplin dan istiqomah akan membantu tumbuh dan berkembangnya akal kemanusiaannya, para neurology menyebutnya cortex prefrontalist. Akal kemanusiaan saya pahami sebagai qolbun salim dalam konsepnya al-Ghozali. Sebaliknya, jika asupan setiap hari yang diterima oleh otak berupa keburukan, bukan ilmu maka yang berkembang adalah akal hewani (system limbic), saya pahami sebagai qolbun maridl dalam konsepnya al-Ghozali. Kedua akal manusia inilah yang menjadi sumber gerak jasmani kita, sehingga perilaku yang nampak ada baik (sehat) dan buruk (sakit).
Akal yang sehat selalu mengobarkan dan menggerakkan pikiran, sikap, dan perilaku yang berdampak baik pada semua. Dan, sebaliknya akal yang sakit akan mengobarkan dan menggerakkan pikiran, sikap, dan perilaku yang condong kepada terjadinya keburukan bagi semua. Kedua sumber energi manusia ini yang kemudian melahirkan metahuman, yaitu manusia superbaik dan manusia superburuk. Kedua sumber metahuman ini selalu muncul dalam diri manusia dan lingkungan sosial. Keduanya saling tarik menarik dan mempengaruhi. Intensitas hubungan mana yang dipilih oleh diri manusia akan menentukan aktualisasi dalam perilaku kesehariannya.
Tugas manusia adalah satu, yaitu menanam dan mengembangkan kebaikan (progresif) di bumi ini. Kebaikan hendaknya tidak hanya berdampak pada diri individualitas semata, agar resonansinya meluas maka kebaikan itu juga harus dikembangkan pada lingkungan sosial sekitar. Disinilah peran akal dan ruh yang sehat (cortex prefrontalis) harus terus dipupuk secara baik. Kesulitan, kesempitan, pandemic, masalah-masalah kemasyarakatan, dan sakit hendaknya menjadi pemicu atau tantangan bagi manusia untuk melahirkan teori, teknik dan obat yang dibutuhkan untuk kebaikan manusia. Demikianlah, ilustrasi Allah swt dalam menjelaskan sakit yang dialami oleh Maryam menjadi pemicu lahirnya ruh kudus (Nabi Isa as) yang mengemban misi untuk kebaikan dunia (QS Maryam/19: 23).
Isa al Masih mengemban misi kebaikan individu dan sosial (QS Maryam/19: 31); kebaikan untuk keluarga (QS Maryam/19: 32); dan selalu membiasakan untuk menyampaikan atau berkata benar, jujur (QS Maryam/19: 34). Misi Isa al-Masih adalah misi suci, misi kebaikan. Akal kemanusiaan dan ruh diri manusia sejatinya adalah mengemban misi kemanusiaan yang baik dan suci. Untuk itu, ia harus diberi nutrisi, dilatih, dibiasakan, dan diaktulisasikan untuk menebar kebaikan semua manusia. Ya..sejatinya dalam setiap diri manusia ada ruh Isa al-Masih yang selalu mengajak kepada kebaikan.
Di saat dunia mengalami kesulitan, kesempitan, dan pandemic seperti sekarang ini, saat yang tepat bagi setiap diri manusia mengembangkan sikap suci dan kebaikan. Melakukan sesuatu yang baik sekecil apapun akan berdampak pada kebaikan semua. Semangat kebangkitan, pesan-pesan moral Isa al-Masih menjelang kenaikannya hendaknya menjadi pemicu untuk melahirkan pemikiran, sikap dan perilaku progresif untuk semua. Itulah, kesejahteraan yang diharapkan (doa) Isa al-Masih, “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (QS Maryam/19: 33).
Komentar
Posting Komentar