MERTUA LANGKA

MERTUA LANGKA


Muhajir Anwar
Juris dan Cerpenis Larantuka

“Mah, ada nenek datang.” Suara anakku terdengar sampai ke dapur. 

“Mampus dah gue, mertua datang aku nggak punya apa-apa, beras habis, kulkas kosong, apa yang akan aku katakan padanya.”

Saat suamiku masih bekerja aku selalu mengiriminya uang pun saat suamiku dipecat saat pandemi aku tetap mengiriminya uang hasil aku jualan dagangan orang lain dan hasil ngojek suamiku, agar dia tidak tahu anaknya sedang susah. 

Biarlah ibu mertuaku tahunya kami hidup enak terus. 

“Eh ibu, mari masuk, Bu?” aku bawakan tasnya ke dalam kamar setelah aku salim. 

Anakku pun salim dan langsung mengajak neneknya bermain di depan. 

Sepertinya mertuaku akan menginap lama, karena tas yang dibawa agak banyak. 

“Sebentar ya, Bu, Nisa bikinin minum dulu.”
Saat itulah kesempatan aku lari ke warung.

“Teteh mau ngebon dulu ya, nanti saya bayar kalau mas Wawan udah pulang.”

“Iya, Mbak selow aja.”

Untung teteh warungnya orangnya baik banget. Aku ngebon  beras, minyak, gula, teh, kopi. 

“Teh, nanti yang ambil mas Wawan ya, saya nitip dulu.”

“Siap Mbak.”

Tak lupa aku kirim pesan ke mas Wawan. 

[Mas, nanti ambil belanjaan di warung Teh Murni, aku ngebon dulu, ibu kamu datang, sebelum pulang copot dulu jaket ngojek kamu ya, pura-pura kamu pulang kerja terus habis belanja juga]

[Ok]

Aku lalu pulang lewat pintu belakang dan membuat minum untumy ibu mertuaku, aku gorengin pisang kebetulan kemarin dikasih sama yang punya kontrakan. 

“Ayo, Bu diminum dulu sama goreng pisang mumpung anget.”

“Iya, gimana keadaan kalian? Ibu mau nginep di sini seminggu boleh ya? Lagi jenuh di rumah.”
“Iya boleh, Bu.”

Itu artinya aku sama mas Wawan harus acting selama seminggu. 

“Wawan belum pulang kerja?”

“Sebentar lagi, Bu, tuh dia.”

Mas Wawan pulang dengan membawa belanjaan yang tadi aku bon di warung, dia juga membeli soto ayam Sokaraja kesukaan ibu mertua dan tentunya pulang tanpa jaket ojek. 

Ibu mertua tampak bangga banget melihat anaknya pulang kerja membawa belanjaan. Sementara aku sibuk whatsApp teman untuk meminjam uang, karena seminggu di rumah artinya aku harus punya stok uang yang banyak. 

Alhamdulillah aku dapat pinjaman dari ibu kontrakan. Sebenarnya  bukan pinjaman tetapi aku mengambil lagi uang yang udah aku bayarkan untuk kontrakan sebulan separuh. Aku janji akan menggantinya setelah aku dapat komisi dagangan orang. 

Selama seminggu mas Wawan selalu berangkat dengan baju rapih dan pulang saat jam kantor juga pulang, agar ibu tidak curiga.

Aku pun masak makanan yang enak-enak agar ibu tahu anaknya tak susah di rantauan. 

“Enak nih kalau ada nenek, makannya enak-enak mulu!” ujar anakku polos. 

“Emang biasanya makannya nggak enak?”
Aku senggol anakku agar menengok lalu aku kedipin mataku. 

“Enak sih, tapi lebih enak kalau ada nenek,” jawab anakku setelah aku kedipin. 

Aku takut dia jujur bahwa selama pandemi makannya seadanya yang penting masih tiga kali sehari. 

“Wan, itu kasur kamu keras banget, ibu sakit badannya, beliin kasur inoac dong biar nyaman tidurnya.”

Aduh, uang dari mana buat beli kasur dadakan, padahal itu aku udah ngalah tidur di kasur lantai. Akhirnya aku mendatangi tukang kredit yang bisa kasih kasur dengan sistem arisan bulanan. 

Aku sama mas Wawan izin pergi bilang mau beli kasur padahal aku ambil di tukang kredit, yang penting ibu bisa tidur nyaman. 

“Asik kasur baru, aku tidur sama nenek lagi ya?” ujar anakku kegirangan. 

Ibu mertuaku terlihat bangga banget dengan anaknya yang bisa memenuhi keinginannya. 
Pagi-pagi sebelum mas Wawan berangkat. 

“Wan, ibu pengen banget makan steak yang kata orang-orang dagingnya empuk itu loh.”

“Iya, Bu nanti pulang kerja Wawan bawain.”
Mas Wawan bicara padaku tentang keinginannnya. Aku kasih persediaan uang yang aku punya. 

“Beliin aja, Mas, belum tentu besok-besok dia kepengin.”

Aku selalu menuruti apa pun keinginan mertuaku, bagaimana pun dia sudah melahirkan dan membesarkan mas Wawan, giliran anaknya sudah dewasa malah menghidupi aku yang jelas-jelas orang lain makanya aku merasa perlu membalas budi. 

Selama di kontrakan ibu sering aku tinggal pergi karena aku harus mengantar dagangan pesanan orang menggunakan sepeda. 

Ibu tidak keberatan karena ada anakku yang menemaninya. 

“Pokoknya ibu jangan ngapa-ngapain ya, jangan megang kerjaan apa pun, tunggu saya pulang ya bu, Nisa antar dagangan dulu.”

“Iya hati-hati, Nis.”

Saat malam hari kita lagi ngobrol-ngobrol. 
“Wan, besok kamu kan libur, ibu pengin jalan-jalan ke pantai sambil makan ikan bakar, enak banget kayanya.”

Aku dan mas Wawan saling pandang, harus ke mana lagi aku pinjam uang. 

“Iya, Bu besok kita jalan ya?” ujarku. Sekarang ibu istirahat ya biar besok seger, pantainya agak jauh soalnya,” lanjutku. 

Setelah ibu tidur aku dan mas Wawan sibuk mencari pinjaman, akhirnya aku gadaikan cincin lima gram mahar menikah dulu, nanti  aku tebus, yang penting saat ini aku dapat uang.
 
Esoknya aku pesan taxi online menuju pantai, melihat ibu bahagia rasanya aku dan mas Wawan pun ikut bahagia, belum tentu ketika kita banyak uang ada kesempatan menyenangkan beliau. 

Seminggu sudah ibu mertuaku di kontrakanku. Saatnya ibu pulang, aku membelikannya tiket untuk pulang dan tak lupa aku memberinya uang untuk pegangan. 

Aku dan mas Wawan mengantar sampai pool bis jurusan kota asal kami.
“Hati-hati ya bu, handphone jangan sampai nggak aktif, kabari kalau ada apa-apa, kalau sudah sampai juga kabari ya, Bu,” ujarku khawatir. 

Aku catat nomer Bis, takut ada apa-apa aku bisa melacaknya. 

Aku pulang dengan mas Wawan dan langsung berhitung hutang yang harus aku bayar dan jumlahnya tidak sedikit. 

“Maafkan ibu ya, Nis,” ucap mas Wawan merasa bersalah. 

“Ngapain minta maaf , Mas, ibumu ya ibuku juga, smoga Allah memberi kita jalan keluar untuk membayar hutang-hutang ini.”

Saat aku membersihkan kamar, aku melihat ada kertas di meja dan sebuah amplop. 

‘Untuk anakku dan menantuku yang tukang bohong’

Terima kasih sudah membahagiakan ibu selama tinggal di tempat kalian. Semoga Allah memberkahi hidup kalian. 

Tertanda
Ibu dan mertua kalian. 

Aku membacanya keras-keras membuat aku dan mas Wawan menahan tangis. 

Aku buka amplop di bawah kertas tadi. Ada uang lima juta di dalamnya. Seketika aku menangis. 

“Ibuuuu.... “

Mas Wawan pun menangis. 

“Maafkan Wawan, Bu.”

Aku segera menuju warung teh Murni mau membayar hutang sembako kemarin. 

“Loh sudah dibayar sama ibu mertua mu Mbak, kemarin beliau ke sini di antar sama Adi anakmu.”
“Ya Allah.”

Aku pun bergegas ke ibu kontrakan mau melunasi bayaran kontrakan. 

“Udah nggak usah, ibu mertuamu sudah melunasinya, malah itu kontrakanmu sudah dibayar setahun.”

Aku terduduk lemas. 

“Ya Allah ibu maafkan menantumu sempat mengeluhkan kedatanganmu.”

Aku pulang dan menceritakan kepada mas Wawan. Dia pun menangis dan berlari mengambil handphone. 

Segera dia telpon ibunya yang baru saja menuju pulang. 

Tetapi mas Wawan tak bisa bicara apa-apa dia hanya menangis di telfon. 

[Sudah jangan menangis, ibu nggak pernah mengajari anak ibu berbohong tetapi kali ini kebohongan anak dan menantu ibu sungguh membuat ibu bahagia]

[Makasih ya Bu]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi